Saturday, December 27, 2008

SEJARAH DARI TUGU PERINGATAN PAHLAWAN JERMAN

"Sebuah cerita dari jatuhnya beberapa kerajaan , dari pohon-pohon keramat , dari kebrutalan perang, dari kapal-kapal perang yang tenggelam, dari roh para awak kapal, dan dari heningnya kuburan pada lereng sebuah gunung api tropis".

Cerita
Pada lereng bukit gunung api Pangrango di Jawa Barat, hampir pada ketinggian 1.000 m, terdapat sepuluh nisan seputih salju. Nisan ini berbentuk Salib Besi. Delapan nisan masih ada dikenal namanya dan sedangkan dua nisan lagi sudah tidak dikenal dan tidak ada namanya. Mereka adalah kuburan yang terakhir dari pelaut muda pada Perang Dunia ke-Dua dari kapal laut yang datang kemari, dalam bentuk petualangan perjalanan dengan menggunakan kapal selam (U-Boote). Mereka dimakamkan di tanah keramat yang bersejarah.

Disini di Jawa Barat pernah ada kerajaan-kerajaan Sunda. Dinasti kerajaan Hindu, dari Tarumanegara sampai Pajajaran, penguasa penganut Hindu pendeta tertinggi selama 1.000 tahun lamanya melalui rakyat Sunda. Selama ratusan tahun, roh dari orang orang Hindu yang sudah meninggal diangkat kepada para dewa di tanah yang disucikan pada lereng pegunungan Pangrango. Empat pohon Beringin keramat (Ficus sp.) mengelilingi tanah keramat yang bertingkat-tingkat tersebut. Batu kuburan yang berukir yang kira-kira berjumlah 800, dan tempat suci ini bernama Arca Domas yang dalam bahasa Sanskerta berarti 800 patung.

Dari tahun 1527 para pejuang Islam di bawah pimpinan Fatahillah menghancurkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan berakibat banyak orang Sunda yang masuk Agama Islam. Banyak Istana dan pura atau candi yang musnah. Para pendeta Hindu mungkin lari ke Pegunungan yang terpencil dan berlindung dari pengaruh luar. Tidak ada orang asing yang diizinkan untuk memasuki wilayah "Kenekes" atau lebih dikenal dengan nama suku "Badui". Di daerah suku "Badui" ini juga terdapat tanah keramat Arca Domas.

Dengan berjalannya waktu banyak batu dan patung yang digunakan untuk membangun rumah. Pada Litografi pertengahan abad ke 19 tampak patung-patung dengan "gaya Polinesia". Patung seperti ini juga terdapat di Museum Nasional, Jakarta. Belakangan, lereng ini digunakan untuk lahan pertanian, tetapi pohon-pohon Beringin yang ada masih mengingatkan masyarakat akan tempat suci ini.

Setelah Perang Dunia ke Satu, dua orang Jerman bersaudara, Emil dan Theodor Hellferich membeli tanah di daerah ini seluas 900 hektar dan membangun pabrik dengan keuntungan dari perkebunan teh. Mereka mempunyai pabrik teh pribadi lengkap dengan kabel pengangkut untuk mengangkut daun teh ke pabrik. Gedung yang megah telah dibangun di daerah ini dimana iklim yang sejuk dan nyaman diatas ketinggian 900 m dari permukaan laut. Karena kakak tertua mereka, Karl Helfferich, adalah mantan wakil perdana menteri di bawah Kekaisaran Jerman yang terakhir, mereka membangun sebuah monumen diantara pohon-pohon tua untuk memperingati Deutsch-Ostasiatisches Geschwader (Armada Jerman Asia Tenggara) dari Admiral Graf Spee yang tenggelam oleh tentara Inggris. Pada monumen tersebut terukir kalimat "Untuk para awak Armada Jerman Asia Tenggara yang pemberani 1914. Dibangun oleh Emil dan Theodor Helfferich." Sebagai penghargaan pada agama tua Jawa, mereka membangun patung Buddha dan patung Ganesha di kedua sisi monumen tersebut.

Peresmian terjadi pada tahun 1926 ketika sebuah kapal penjelajah Jerman dengan nama "Hamburg" melakukan kunjungan pada zaman Kolonial Belanda. Seorang Letnan Kapten muda, Hans Georg von Friedeburg menulis tentang upacara itu dari bukunya dengan judul "Kedalaman 32.000 mil laut pada laut biru". Kemudian, ia menjadi Jendral Admiral dan mengakhiri hidupnya pada tahun 1945 akibat kapitulasi Jerman. Anak laki - lakinya kemudian menjadi Mentri Pendidikan di Land Hessen, Jerman.
Helfferich bersaudara kembali ke Jerman pada tahun 1928 dan meninggalkan Albert Vehring dari Bielefeld untuk tekhnisi manajemen perkebunan teh mereka. Dia sudah berpengalaman tentang perkebunan teh di daerah New Guinea. Namanya akan selalu berkaitan dengan Arca Domas.

Mulainya Perang Dunia ke-Dua
1939 membawa perang Dunia ke-Dua, dan 10 Mei 1940 prajurit Jerman menginvasi Belanda. Masih dalam hari yang sama Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia menahan sebanyak 2.436 orang Jerman untuk ditahan. Kebanyakan dari mereka adalah anggota administrasi kolonial bersama dengan keluarga mereka, ahli budaya, insinyur, dokter, ahli ilmu pegetahuan, ahli minyak bumi. Dan juga diplomat, banyak misionaris, penjual, pelaut, beberapa seniman seperti penemu sekolah lukis Bali yang terkenal, Walter Spies, ada diantaranya. Kamp pengasingan terbesar berada di Sumatera Utara. Para pria diambil dari istri dan anak - anak mereka. Kurang lebih 100 wanita dan anak - anak kemudian dapat berangakat ke Cina dan Jepang melalui perantara dari Helfferichs, juga istri dari Albert Vehring, Ibu Hildegard. Perkebunan Helfferich kemudian diambil alih oleh Belanda.

Tenggelamnya Kapal "VAN IMHOFF" dan Kemerdekaan Republik Nias
Pada tanggal 14 Desember 1941 pasukan Jepang mendarat di Borneo dan pada bulan Februari tahun 1942 di Air Bangis, Sumatra Barat. Orang - orang Jerman tidak boleh jatuh ke tangan tentara Jepang, karena Jerman dan Jepang telah bersekutu. Pemerintah kolonial Belanda meutuskan untuk membawa para tawanan Jerman ke tangan kolonial Inggris India. Dua kapal Belanda dengan tawanan Jerman berangkat dari Sibolga, Sumatera. Dan pada tanggal 18 Januari kapal 3000 ton yang ke tiga berangkat, kapal tersebut bernama KPM "VAN IMHOFF". Kapten kapal tersebut bernama Bongvani. Setelah beberapa jam berada di lautan, kapal tersebut diperintahkan untuk kembali dan membawa beberapa orang Jerman lagi. 477 orang Jerman pada akhirnnya ditawan pada ketinggian satu meter, dengan kawat berduri mengelilingi mereka, dan diantara mereka juga ada Albert Vehring dan Walter Spies. Belanda mengawasi mereka dengan 62 tentara yang bersenjata. Selanjutnya para kru - krunya kurang lebih memegang 48 orang. Kapal itu tidak menggunakan tanda simbol Palang Merah.

Pada keesokan harinnya, kapal tersebut mendapat serangan dari pesawat tempur Jepang. Dua bom mendarat di laut, tetapi bom yang ke tiga mengenai kapal tersebut. Perwira ke satu mengatakan kepada para tawanan Jerman bahwa kapal tersebut tidak berada dalam keadaan berbahaya, bahkan sudah meminta bala bantuan yang akan segera datang. Orang - orang di belakang kawat berduri itu tidak perlu panik.
Tetapi para tawanan Jerman sangat terkejut, ketika mereka melihat orang - orang Belanda menurunkan lima perahu kargo yang ditarik dengan perahu motor penarik. Dengan kapal kargo tersebutlah, orang - orang Belanda meninggalkan kapal dan menuju ke Sumatera. Setiap 5 ton perahu kargo tersebut bisa membawa sekitar 80 orang dan perahu motor penarik yang dapat menampung 60 orang lagi. Beberapa diantara perahu ini hampir kosong.

Para tawanan Jerman tadi akhirnya dapat mengeluarkan diri mereka dari penjara dan mereka menyadari bahwa kapal tersebut akan tenggelam. Mereka menemukan bahwa para orang - orang Belanda telah merghancurkan pompa air dan jaringan komunikasi kapal tersebut. Pada bagian belakang kapal, mereka menemukan sebuah sekoci penolong yang tidak bisa diangkat dari tempatnya oleh orang - orang Belanda sebelumnya. Bahkan dayung dari sekoci tersebut telah dipatahkan oleh orang - orang Belanda. Sekoci tersebut dapat memuat sekitar 42 orang di dalamnya. Beberapa orang Jerman yang kuat dapat mengangkat lalu memindahkan sekoci tersebut ke perairan, kemudian sekitar 53 orang Jerman masuk ke dalam sekoci tersebut. Mereka menggunakan papan sebagai dayung dan menjauh dari kapal yang tenggelam tersebut agar selamat dari arus kapal tersebut.

Kira - kira 200 pria sudah meloncat ke air dan berharap datangnya bantuan. Walaupun demikian, bom yang meledak telah membunuh banyak ikan - ikan yang dapat menarik perhatian ikan hiu yang datang dan menyerang orang - orang yang tak terselamatkan tersebut. Beberapa orang diantara mereka memutuskan untuk bunuh diri. Beberapa orang yang kuat diantara mereka mambangun rakit dari kayu - kayu dan tali yang mereka temukan di kapal sebelum tenggelam. Teman dari Albert Vehring menemukan sebuah sampan dayung yang panjangnya 2 atau 3 m di tempat yang tersembunyi. 14 orang masuk ke dalamnya. Vehrings yang memimpin komando sampan dayung tersebut. Pinggiran perahu tersebut hanya kira - kira berjarak 10 cm dari permukaan laut. Ketika perahu dayung mereka telah berjarak 100 m dari kapal, kapal tersebut akhirnya tenggelam dengan seketika. Sekitar 200 orang masih tertinggal di atas kapal yang tenggelam tersebut.

Kedua perahu dan sebuah rakit tersebut berusaha untuk mencapai pulau Nias yang berjarak 55 mil laut dari tempat tenggelamnya kapal. Keesokan harinya, tanggal 20 Januari, sebuah kapal Belanda yang bernama "BOELOENGAN" mendekati kelompok orang - orang Jerman tersebut. Kapal tersebut mendekat kira - kira 100 m dari perahu Vehring. Dari atas kapal ada yang meneriakkan "apa kalian orang Belanda?". Saat mereka mengetahui bahwa ini adalah kelompok orang Jerman, kapal "BOELOENGAN" berbalik arah lalu menghilang meninggalkan mereka. Oleh karena ini, orang - orang Jerman yang berada di atas rakit tidak dapat kesempatan untuk selamat. Seorang penjual toko emas Yahudi yang telah meninggalkan Nazi Jerman, meloncat ke perairan dan berenang menuju ke kapal "BOELOENGAN". Walaupun demikian, tanpa kasihan orang - orang Belanda menolaknya dan memaksanya kembali ke perairan. Ini adalah keputusan mati yang tidak layak.

Kemudian pada tanggal 20 Juni 1949, Albert Vehring melaporkan kejadian yang tak dapat terbayangkan itu dengan mengangkat sumpah kepada notaris Jerman, Bernhard Grünewald, di Bielefeld. Dia memberikan penjelasan bahwa pada saat air laut naik, setengah dari awak perahunya keluar dari perahu dan berpergangan pada perahu agar perahu tersebut dapat menjadi lebih ringan. Dan orang - orang yang berada di rakit tidak dapt diselamatkan lagi.

Pada hari ke 4 tepatnya 23 Januari 1942, mereka sampai dalam keadaan kehausan, lapar, kekeringan dan terbakar matahari di pantai menanjak pulau Nias. Perahu yang lebih besar terbalik akibat hempasan. Karenanya, satu orang meninggal dunia. Satu orang tua yang berusia 73 tahun menggantung dirinya karena putus asa. Keesokan paginya, beberapa orang Nias yang bersahabat dan seorang pastur Belanda, Ildefons van Straalen, memberikan makanan dan minuman kepada orang - orang yang selamat.

Dalam keberuntungan ini ditemukan 411 orang tentara Jerman yang mati, 20 Protestan dan 18 Katholik misionaris seperti orang yang cerdas artis Walter Spies. 67 orang mencapai Nias dari 65 orang yang masih bertahan. Karena kapal "VAN IMHOFF" kepunyaan dari Belanda KPM dan Belanda menduduki Jerman. Asuransi dari KPM harus membayar kompensasi untuk 4 milion Gilder kepada para keluarga yang mati di Jerman. Satu kali saja perangnya terjadi. Setelah perang tersebut orang tua dari Walter Spies yang mati dimana tinggal di Inggris membuat surat pengaduan di Pengadilan melawan Kapten dari "VAN IMHOFF" namanya Bongovan. Dia hampir kena hukuman mati, tetapi cepat mendapat pengampunan.

Pada keesokan harinya yang hidup di Nias tertangkap oleh orang Belanda dan dibawa ke ibukota Gunung Sitoli. Disana mereka dibawa ke tempat penjara Polisi, penjaganya dari orang Belanda dan polisi Indonesia dari Sumatra Utara. Polisi Indonesia sangat kaget bahwa mereka menjaga orang Jerman karena sebelumnya orang Jerman telah mengalahkan kehidupan Pemerintah Kolonial di Belanda. Albert Vehring bekerjasama bersekongkol dengan polisi Indonesia.

Orang Jerman bersekutu dengan polisi Indonesia dan pada hari Minggu Palem pada tahun 1942 orang Belanda dipenjara. Jepang pada waktu itu sedang mendarat di Sumatra dan Jawa dan mengirim semua orang Belanda ke pengasingan dan dalam takdirnya mereka, sangat ironi sekali. Sekarang sangat tidak percaya apa yang telah terjadi di Nias, membuat kita hari ini tersenyum:

Jerman berproklamasi dengan Nias "Kemerdekaan Republik Nias". Komisaris perusahan Bosch, Herr Fischer, telah menjadi Perdana Mentri dan Albert Vehring menjadi Mentri Luar Negri. Mereka menjadikan rekan dengan Nias. Nias menjadi senang pada akhirnya mereka bersorak sorai telah mendapat kekuatan. Beberapa minggu kemudian orang Jerman bersama dengan Nias melakuakan perjanjian Pulau Nias. Kemudian Albert Vehring berlayar ke Sumatra untuk membuat kontak dengan orang Jepang. Orang Jepang datang ke Nias pada tanggal 17 April 1942 dan membawa orang Belanda untuk dipenjara, dan dimana ada juga Pastor van Straalen.

Orang Jerman bisa kembali lagi ketempat pertama kali mereka bekerja disana dan "Kemerdekaan Republik Nias" telah melepaskan mereka kembali. Albert Vehring bekerja untuk orang Jepang di hotel, memproduksi senapan dan menjadi Insinyur Kapal di Singapura.

Kapal Selam Jerman di Tanjung Priok dan Surabaya
Jerman berusaha lagi dengan barang - barang untuk diimport dengan pendapatan kotor dari pulau pendudukan sekutu Jepang. Tapi akibat blokade sekutu, hanya satu kapal yang dapat mendarat di perairan pendudukan Jerman di Eropa.

Karena itu pada bulan Mei 1943 Angkatan Laut Jerman dimana menguasai dengan persetujuan Angkatan Kepala Jepang detasemen marinir Jerman di Penang, Singapura, Jakarta, dan Surabaya. Orang Jepang memberi nama Jakarta menjadi Batavia. Jerman mendapat undang-undang dan memutuskan mengimport dengan bahan baku dengan menggunakan kapal - kapal selam, yaitu karet, timah, molybdan, wolfram, lemak, kinine, madat, yodium, dan agar - agar, dengan bahan penting untuk warna cat penerbangan. Dengan sekitar 150 ton dalam kapal sangat banyak sehingga menjadi sempit.

Titik Pusat di Jakarta, Mayor Angkatan Laut, Dr. Hermann Kandeler, dimana dia juga seorang Wakil anggota Diplomatik yang mencerminkan pilihan rakyat Deutsches Reich, berkuasa mengadakan perundingan orang Jepang bahwa Villa dari Helfferichs di perkebunan teh Cikopo diatas Bogor dekat Arca Domas diberikan kembali ke pada orang Jerman. Albert Verhing telah dibawa kembali kesini. Tumbuhan tersebut bisa menjadi seperti surgawi para kru kapal-kapal manjadi kelelahan. Dengan tiga atau lima bulan keliling Afrika, didalam bawah laut dan dengan mendirikan tenda datang tersebut dengan kondisi harus diperbaiki. Berlangsungnya perbaikan kapal tersebut orang yang "berseragam biru" mereka bisa menikmati tempat itu tropis surgawi dan mereka bisa melupakan sejenak untuk waktu yang singkat kejamnya perang dan bahayanya pelayaran laut.

Dalam pimpinan Albert Vehring telah menyediakan untuk angatan laut dan menyediakan sayur-sayuran, kentang, dan sepertri gorengan sapi, babi, ayam bakar, karena itu perkebunan itu mendapat julukan "U-Boots-Weide" (padang rumput untuk kapal selam). Malam yang panjang perpisahan telah dirayakan disini dan menyanyikan lagu dari daerah asalnya melewati malam tropis untuk setengahnya sahabat telah menjadi perayaan yang terakhir untuk hidup yang sangat pendek. Selanjutnya dari beberapa orang dari mereka menjadi tempat tinggal yang terakhir.

Pada tahun 1943 dan 1944 bersama dengan 42 kapal selam telah dikirim ke Asia Tenggara. Kapal selam U-180 telah dua kali dikirim. Hanya 13 kapal yang tidak dikirim. 11 dari ini "Monsun boats" telah dilarikan ke Jakarta. Lima dari kapal tersebut tinggal di bawah laut.

Pada tanggal 5 Oktober 1944 U-168 di bawah Kapten Letnan Pich berlayar dari Jakarta ke Surabaya. Pada hari yang sama telah terjadi angin torpedo dari kapal selam Belanda "ZWAARDFIS". Telah tenggelam 45 m dari dalam dasar laut. 29 kru kapal dari sisi kapal, mati. Dibawah perintah Kapten, 11 kru kapal terhindar dari kematian dalam marabahaya ini. Ketika mereka berada di atas permukaan laut mereka menemukan 16 sahabat yang masih hidup di geledak kapal. Pada akhirnya kapal selam Belanda naik ke atas dan mengambil semua orang dan dibawa ke kapal. Ini merupakan keberanian dari kapten van Goosen karena kapalnya akhirnya telah menjadi musuh dalam laut dan mereka tidak terdampar karena kapal sangat kecil. Keberanian van Goosen dalam bahaya telah mengirim 23 yang telah selamat ke Java dengan perahu lokal. Sebelum mereka bisa bertemu dengan para sahabatnya di Surabaya, tentara Jepang menyangka mereka adalah "mata-mata Amerika", maka mereka ditangkap dan disiksa. Kapten Belanda van Goosen membawa Kapten Letnan Pich bersama dengan tiga perwiranya dan seorang yang terluka untuk dibawa ke kapal dan dibawa ke Australia untuk dipenjarakan. Beberapa tahun kemudian, komandan marinir Jerman di Singapura, Mayor Angkatan Laut namanya Erhardt, dan van Goosen telah berjabat tangan seperti dua orang sahabat menjadi pengganti wakil dari negaranya, pada latihan perang NATO (North Atlantic Treaty Organisation) dan dengan ini mereka bisa membuktikan tidak masuk akal terjadinya perang.

Akhirnya Perang Dunia ke-Dua
Iklim tropis di Jakarta membuat orang menjadi sakit dan mati. Pada tanggal 15 April 1945 seorang tukang kayu kapal bernama Eduard Onnen meninggal disana. Dia di kuburakan di tempat keramat Arca Domas dengan cara upacara kehormatan militer. Pada tanggal 8 Mei 1945 Jerman menyarah kalah. Oleh karena itu para tentara dari Jerman juga sudah berakhir masa perangnya. Dan pada hari yang sama orang Jepang mengusai tempat yang sama dan tinggal di kapal selam U-195 di Surabaya dan U-215 di Jakarta, karena itu Kepala Pangkalan Jerman dari Jakarta, Mayor Angkatan Laut Dr. Kandeler, menolak tawaran Jepang Admiral Maëda untuk terus perang bersama dengan Jepang atau bersekutu dengan Jepang. Beberapa dari kru telah bersembunyi dari teman wanitanya. Setelah perang usai mereka mencari pasanganya dan pada akhirnya mereka menikah (Martin Müller).

Kebanyakan tentara marinir dari Kepala Pangkalan Jakarta dan Surabaya telah pindah dengan semua yang mereka miliki yaitu makanan, senapan, kendaraan, untuk pindah dan senang di Perkebunan Teh Cikopo (Tjikopo). Dengan petolongan Albert Vehring mereka mendapat makanan. Seragamnya mereka tanggalkan. Kepala tempat penampungan itu Mayor Angkatan Laut dari U-219 Burghagen, karena telah menang dari perang Dunia ke-Satu dengan kapal selam maka dia telah menjadi seorang perwira yang paling tertua dengan usia 54 tahun.

Pada tanggal 15 Agustus 1945 akhirnnya Jepang menyerah juga. Sebelum menjadi presiden pertama Sukarno telah membuat Proklamasai untuk Kemerdekaan Indonesia. Pada malam harinya pada tanggal 16 ke 17 Agustus Soekarno dengan Wakil Presiden Moh. Hatta membuat tulisan tangan untuk teks Proklamasi untuk kepastian keamanan, mereka membuatnya di tempat kediaman dari Admiral Maëda. Pada pagi harinnya teks tersebut harus di ketik disana tetapi mesin tik Jepang tidak ada huruf latinnya. Jadi mereka "meminjam" mesin tik Jerman dari tempat kantor Kepala Angkatan Laut Jerman, Mayor Angkatan Laut Dr. Kandeler. Mesin tik tersebut telah diambil dengan Jip Sekretaris Jepang Admiral Maëda, Satzuki Mishima. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Dokumen teks Proklamasi telah dibacakan oleh Soekarno. Dokumen aslinnya telah diketik oleh Sajuti Melik dengan mesin tik angkatan laut Jerman. Mesin tik tersebut sekarang berada di Musium Perumusan Naskah Proklamasi. Dari sini ceritannya juga telah ditemukan banyak keganjilan.

Orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia akhirnya menjadi gerilyawan. Karena hal tersebut orang Jerman kemudian membuat tanda atribut mereka yang telah diambil dari seragamnya untuk dijadikan lambang dengan menggunakan lambang Elang Negaranya dilengan mereka. Ketika orang Indonesia mengenali orang Jerman mereka menjadikan hubungan tersebut menjadi persaudaraan.

Pada awal bulan September 1945 sebuah Resimen Ghurka-Inggris dibawah komandan perwira orang Skotlandia datang ke Jawa. Tentara ini sangat kaget menemukan tentara Jerman di Cikopo. Komandan resimen bertanya kepada Mayor Angkatan Laut Burghagen untuk menolong tempat penampungan di Bogor. Di tempat penampungan ini waktu itu tempat Jepang menginternir orang Belanda, kebanyakan orang tua, istri dan anak - anak, serta orang Indo. Mereka harus selamat dari penangkapan gerilyawan. Burghagen menyetujui karena situasi di perkebunan teh lama kelamaan tidak aman. Kemudian Komandan Jendral Inggris menamai orang Jerman bukan tawanan perang tetapi "Displaced Persons", karena pertemuan tersebut telah selesai pada waktu perang dunia telah berakhir.

Dengan 50 truk Jepang, orang Jerman berikut piano dan peternakannya telah di transportasi ke tempat penampungan di Bogor yang sebelumnya bernama Buitenzorg. Orang Jerman tersebut harus mengenakan seragam mereka lagi dan menggunakan senapan mesin, bren, granat tangan dan mortir. Mereka harus melindungi tempat penampungan yang berada di selatan pada perbatasan Bogor. Pada waktu yang singkat setelah perang dunia berakhir dengan luar biasa. Pada malam hari pertama datang tembakan dari keduanya seperti saling gila menembak. Untungnya dari keduanya tidak ada yang menjadi korban. Kemudian menjadi nyata, orang Indonesia menyangka mungkin bahwa orang Jerman telah tertangkap oleh Ally dan mereka berusaha untuk membebaskannya. Suatu situasi yang sangat ganjil.

Pemakaman dari pelaut-pelaut Jerman di Arca Domas
Ternyata terdapat beberapa korban. Letnan Satu Laut Willi Schlummer dan Letnan Insinyur Wilhelm Jens dimana terbunuh di Gedung Jerman di Bogor dari pejuang kemerdekaan Indonesia pada tanggal 12 Oktober 1945 karena kemungkinan mereka telah menyangka orang Belanda. Pada bulan yang sama juga Letnan Laut W. Martens terbunuh ketika dalam perjalanan dengan kereta api dari Jakarta ke Bogor. Ketiga nya dimakamkan dengan upacara kemiliteran di Arca Domas. Sebelumnya pada tanggal 29 September Kopral Satu Willi Petschow mati karena sakit di Cikopo, dan Letnan Kapten Herman Tangermann mati juga pada tanggal 23 Agustus karena kecelakaan. Pada tanggal 30 November juga Letnan Satu Laut Friedrich Steinfeld mati, ia juga seorang Komandan U-195 (Surabaya). Semua menemukan tempat peristirahatannya yang terakhir ditengah -tengah pohon suci Beringin di Arca Domas.


Kemungkinan disana ada empat atau lebih pemakaman lagi. Tetapi dasawarsa Tugu Arca Domas kemudian menjadi Tugu Makam Pahlawan, beberapa nama dari palang kayu menjadi lapuk dan tidak bisa di baca. Karena itu dua kuburan telah "Unbekannt" (tidak diketahui). Juga untuk Letnan Satu Dr.Ir. H. Haake telah meminta dikuburkan oleh keluargannya, walaupun kapal selamnya tenggelam di Selat Sunda oleh ranjau pada tanggal 30 November 1944.

Pengasingan, kemerdekaan dari sisi Indonesia dan kembalinya orang -orang yang masih hidup ke Jerman
Sementara itu banyak orang Belanda di tempat penampungan yang mengeluh, karena mereka "di jaga" oleh orang Jerman. Orang Inggris harus menyerahkan kira-kira 260 Jerman. Pada pertengahan Januari 1946 menyerahkan beberapa orang Belanda yang ikut dalam ketentaraan. Orang Belanda memenjarakan orang-orang Jerman di pulau Onrust yang terkenal karena nama yang buruk. Kepunyaan barang pribadi mereka kebanyakan juga diambil. Mereka mendapat nasib yang buruk dan ironi.

Perlakuan yang buruk agak lebih baik ketika Palang Merah dari Swiss datang pada bulan Juli 1946. Tetapi tempat penampunganya mendapat beberapa penyakit seperti amoebiasis, malaria, demam berdarah dan hepatitis karena kurang higienis dan kurang nutrisi. Disini juga ada warga sipil namanya Freitag dia tertembak karena dia mendekat pada pagar.

Dua orang dengan tanpa takut lolos dalam pelarian. Mereka berenang menyebrangi ke pulau yang lain. Salah satunya adalah pilot dari pesawat angkatam laut namanya Werner dan sahabatnya Lösche dari U-219. Dalam pelarianya mereka bergabung dengan pejuang kemerdekaan Indonesia di Jawa untuk bekerjasama melawan Belanda yang juga ingin mendirikan pemerintahan kolonial yang lama. Sahabat Werner akhirnya meninggal dunia karena ia munkin mencoba untuk merakit pelontar api. Peringatan dari pemerintahan Indonesia untuk kehormatan dari kedua orang Jerman sampai saat ini belum di buat.

Pemulangan orang Jerman dimulai pada tanggal 28 Oktober 1946. Dengan menggunakan taransportasi kapal laut mengangkut pasukan melalui Bombay dan Rotterdam pada awal Desember 1946 di Hamburg. Albert Vehring akhirnya bisa merangkul istrinya. Tetapi tentara Angkatan Laut yang menjadi tawanan perang mereka dibawah kembali ke tempat penampungan tawanan Munsterlager. Mereka menderita kedinginan karena hanya memakai pakaian tropis. Tetapi suatu hari mereka akhirnya dibebaskan.

Organisasi Perawatan Taman Makam Pahlawan Jerman tidak bisa membeli Arca Domas karena peraturan pemerintah Indonesia. Kedutaan Besar Jerman hanya mendapat hak guna untuk Arca Domas. Setiap tahun Hari Pahlawan ada perkumpulan kecil dari orang - orang Jerman datang ketempat ini. Suatu upacara kebaktian oikumene dirayakan untuk memperingati perdamaian dan memperingati korban - korban perang. Duta Besar Jerman bersama pertahanan militer meletakan karangan bunga dekat monumen dan dengan pitanya tertulis "Der Botschafter der Bundesrepublik Deutschland" (Duta Besar dari Republik Federal Jerman). Bunyi sinyal suara trompet yang dimainkan oleh Herwig Zahorka dengan lagu yang berbunyi "Ich hatt' einen Kameraden...." ( Saya mempunyai Sahabat....). Dari sinyal trompet bergema dari puncak pohon besar suci Beringin. Dengan perlahan melodi sedih itu membuat suasana menjadi terharu bersama dengan atmosfir alam tropis.

Daftar Pustaka dari: Herwig Zahorka "Arca Domas - ein deutscher Soldatenfriedhof in Indonesien"

  1. Eidesstattliche Erklärung von Albert Vehring vom 20.Juni 1949, Urkundenrolle Nr. 61, 1949, Notar Bernhard Grünewald, Bielefeld.
  2. Kpt.z.See a.D. Hermann Kandeler: Der Soldatenfriedhof ARTJA in TJIKOPO SELATAN bei BOGOR / INDONESIEN mit massstäblicher Skizze über die einzelnen Grabanlagen in einer "Anlage zur Aktennotitz" (der Deutschen Botschaft in Jakarta) vom 31.10.1966.
  3. Anonymus: Fotogr. Aufnahmen der Deutschen Botschaft Jakarta von Arca Domas zusammen mit zwei Spalten Text über die Geschichte des Deutschen Soldatenfriedhofs und den Aktivitäten der deutschen Kriegsmarine im 1. und 2. Weltkrieg. (Ablichtung bei der Deutschen Botschaft Jakarta, Druckquelle unbekannt).
  4. Geoff Bennett, 1977: ARCA DOMAS ... A Trail through Time and Space (not published). 16 Schreibmaschinenseiten.
  5. Hans-Joachim Krug (ehem. 1.WOff. U 219): Schreiben an die Deutsche Botschaft Jakarta ohne Datum, dort eingegangen am 11.03.1998 mit Richtigstellungen, Korrekturen und Ergänzungen zu ARCA DOMAS von Geoff Bennett.
  6. Holk H. Dengel: Die deutschen Marinestützpunkte Jakarta und Surabaya 1943-1945. Auswertungen der Quellen im U-Boot-Archiv Cuxhaven-Altenbruch, Literaturangaben und Augenzeugenzitate. Sechs Seiten. Ablichtung bei der Deutschen Botschaft Jakarta. Veröffentlicht? Quelle unbekannt.
  7. Holk H. Dengel: Deutsche U-Boote, die zwischen 1943-1945 die Stützpunkte im Südraum anliefen. 7 Seiten mit Namen der Kapitäne, der U-Boot-Typen, der gefahrenen Routen und ihre Schicksale. Abbildung des Zeichens des Monsun-U-Bootes 195 und Fotos der deutschen Marine in Jakarta 1942/45. Ohne Quellenangabe.
  8. Hermann Kandeler: 1943: Djakarta - deutscher Marinestützpunkt. Marineforum 6/7-1974: 206-208.
  9. Liste der U-Boote, die in ostasiatischen Gewässern operiert haben oder dorthin in Marsch gesetzt wurden (U-Boot-Archiv Cuxhaven-Altenbruch).
  10. Hans-Joachim Krug: Schreiben an die Deutsche Botschaft Jakarta vom 23.Jan.1989 mit einer Aufstellung der Boote, die Jakarta anliefen und einer Liste der Besatzungsmitglieder von U 219 mit Adressen der Angehörigen.
  11. Anonymus: Deutscher Soldatenfriedhof ARCA in CIKOPO. 1 Seite Text ohne Datum. Zeichen: KRZGES2.DOC
  12. Drittes Merkblatt über die Lage der Deutschen in Niederl.Indien, Stand Aug.1941 - nicht für die Presse - NJ4 (4000. 1.9.1941), Auswärtiges Amt, Berlin W8/Kult.E/ZV).
  13. Auszug aus: Emil Helfferich (1967): Behn, Meyer & Co, Arnold Otto Meyer. II. Band. H.Christians Verlag Hamburg.
  14. Walter Blechschmidt: Schreiben an die Deutsche Botschaft Jakarta vom 28.Febr.1984. (Beschreibung seiner Internierung als Zivildeutscher).
  15. Auszug aus Brief an MAH Tokio von C.G.Werner vom 9.3.1994.
  16. Schreiben des Japanischen Botschafters in der BRD Ryohei Murata an den Deutschen Botschafter Dr.Heinrich Seemann vom 26.Juli 1993 (u.a über U-Boot-Navigation anlässlich Subhas Chandra Boses U-Boot-Reise nach Indien 1945).
  17. Ida Indawati Khouw: The legacy of Maëda's residence. The Jakarta Post, Oct. 7, 2000. (Der japanische Admiral Maëda war der Marinechef in Jakarta 1942-45).
  18. Von: Kommando Kreuzer "Karlsruhe", B.Nr.G40, in See, 22.Jan.1936. Geheim. An den Oberbefehlshaber der Kriegsmarine, Berlin. Bericht über den Aufenthalt des Kreuzers "Karlsruhe" in Batavia vom 10.1.-16.1.1936. (22 Seiten, u.a. Gedenkfeier am Marinedenkmal in Tjikopo).
  19. Hans-Georg v. Friedeburg: 32 000 Seemeilen auf blauem Wasser. Erlebnisse auf der Weltreise des Kreuzers "Hamburg" 1926/27. Verl.Wilh.Köhler, Minden.
  20. Ernst Hoffmann: Vor 80 Jahren. Das Ostasiengeschwader bei Coronel und Falkland. Blaue Jungs 5/95:2-4.
  21. Umfangreicher Dokumentarbericht in Fortsetzungen von Jürgen Dennert: "Der Untergang der 'van Imhoff'". In: Welt am Sonntag 1963, Nr.34, Nr.35, Nr.36, Nr.37, Nr.38 und Nr.39/1963.
  22. Der Seekrieg im Indischen Ozean 1942 - 1945 - Deutsche U-Boote im Einsatz zwischen Südafrika und der Java-See. Anonymus. 193 Seiten, Fotoanhang.
    Nach dem Erstdruck dem Autor bekannt gewordene intressante Schriften:
  23. Kriegstagebuch von Ob.Mt. Peter Marl, Abschnitt: Auf der letzten Fahrt von U 195 nach Surabaya, Aufenthalt in Java, Kriegsende und Heimkehr nach Deutschland. Unveröffentlicht. Kopie bei Herwig Zahorka und der Botschaft in Jakarta.
  24. Franz Klump (U 219): "Es war einmal... Bericht über das Schicksal von U 219 und seiner Besatzung von 1944 bis 1946". Kopie bei der Botschaft in Jakarta und bei Herwig Zahorka.
  25. "Heimat deine Sterne", zusammengestellt von Johann Korn (U 195). 102 Seiten. Kopie bei Herwig Zahorka.
  26. Martin Müller (U 195): Bericht eines Zeitzeugen aus der Zeit von Ende 1944 bis Mitte 1947 auf Java. 11 Seiten DIN A4. Kopie bei Herwig Zahorka und der Botschaft in Jakarta.
  27. Umfangreiche persönliche Informationen noch lebender, ehem. Besatzungsmitglieder von U 195 (Surabaya) und U219 (Jakarta) sowie vollständige Namenslisten, demVerfasser Herwig Zahorka übermittelt.
Dikutip dari : http://www.bogor.indo.net.id

Kehadiran Nazi di Indonesia yang Terlupakan

BERKECAMUKNYA Perang Dunia II Teater Asia-Pasifik, yang terjadi di Indonesia, diwarnai kehadiran pasukan Nazi Jerman. Aksi mereka dilakukan usai menyerahnya Belanda kepada Jepang di Kalijati, Subang, 8 Maret tahun 1942, atau 64 tahun silam. Namun, kehadiran Nazi Jerman ke Indonesia seakan terlupakan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Kehadiran pasukan Nazi Jerman di Indonesia, secara umum melalui aksi sejumlah kapal selam (u-boat/u-boote) di Samudra Hindia, Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Malaka, pada kurun waktu tahun 1943-1945. Sebanyak 23 u-boat mondar-mandir di perairan Indonesia, Malaysia, dan Australia, dengan pangkalan bersama Jepang, di Jakarta, Sabang, dan Penang, yang diberangkatkan dari daerah pendudukan di Brest dan Bordeaux (Prancis) Januari-Juni 1943.

Beroperasinya sejumlah u-boat di kawasan Timur Jauh, merupakan perintah Fuehrer Adolf Hitler kepada Panglima Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine), Admiral Karl Doenitz. Tujuannya, membuka blokade lawan, juga membawa mesin presisi, mesin pesawat terbang, serta berbagai peralatan industri lainnya, yang dibutuhkan "kawan sejawatnya", Jepang yang sedang menduduki Indonesia dan Malaysia. Sepulangnya dari sana, berbagai kapal selam itu bertugas mengawal kapal yang membawa "oleh-oleh" dari Indonesia dan Malaysia, hasil perkebunan berupa karet alam, kina, serat-seratan, dll., untuk keperluan industri perang Jerman di Eropa.

Pada awalnya, kapal selam Jerman yang ditugaskan ke Samudra Hindia dengan tujuan awal ke Penang berjumlah 15 buah, terdiri U-177, U-196, U-198, U-852, U-859, U-860, U-861, U-863, dan U-871 (semuanya dari Type IXD2), U-510, U-537, U-843 (Type IXC), U-1059 dan U-1062 (Type VIIF). Jumlahnya kemudian bertambah dengan kehadiran U-862 (Type IXD2), yang pindah pangkalan ke Jakarta.

Ini disusul U-195 (Type IXD1) dan U-219 (Type XB), yang mulai menggunakan Jakarta sebagai pangkalan pada Januari 1945. Sejak itu, berduyun-duyun kapal selam Jerman lainnya yang masih berpangkalan di Penang dan Sabang ikut pindah pangkalan ke Jakarta, sehingga Jepang kemudian memindahkan kapal selamnya ke Surabaya.

Adalah U-862 yang dikomandani Heinrich Timm, yang tercatat paling sukses beraksi di wilayah Indonesia. Berangkat dari Jakarta dan kemudian selamat pulang ke tempat asal, untuk menenggelamkan kapal Sekutu di Samudra Hindia, Laut Jawa, sampai Pantai Australia.

Nasib sial nyaris dialami U-862 saat bertugas di permukaan wilayah Samudra Hindia. Gara-gara melakukan manuver yang salah, kapal selam itu nyaris mengalami "senjata makan tuan", dari sebuah torpedo jenis homming akustik T5/G7 Zaunkving yang diluncurkannya. Untungnya, U-862 buru-buru menyelam secara darurat, sehingga torpedo itu kemudian meleset.

Usai Jerman menyerah kepada pasukan Sekutu, 6 Mei 1945, U-862 pindah pangkalan dari Jakarta ke Singapura. Pada Juli 1945, U-862 dihibahkan kepada AL Jepang, dan berganti kode menjadi I-502. Jepang kemudian menyerah kepada Sekutu, Agustus tahun yang sama. Riwayat U-862 berakhir 13 Februari 1946 karena dihancurkan pasukan Sekutu di Singapura. Para awak U-862 sendiri semuanya selamat dan kembali ke tanah air mereka beberapa tahun usai perang.

Dilindungi pribumi

Usai Jerman menyerah kepada Sekutu di Eropa pada 8 Mei 1945, berbagai kapal selam yang masih berfungsi, kemudian dihibahkan kepada AL Jepang untuk kemudian dipergunakan lagi, sampai akhirnya Jepang takluk pada 15 Agustus 1945 usai dibom nuklir oleh Amerika.

Setelah peristiwa itu, sejumlah tentara Jerman yang ada di Indonesia menjadi luntang-lantung tidak punya kerjaan. Orang-orang Jerman mengambil inisiatif agar dapat dikenali pejuang Indonesia dan tidak keliru disangka orang Belanda. Caranya, mereka membuat tanda atribut yang diambil dari seragamnya dengan menggunakan lambang Elang Negara Jerman pada bagian lengan baju mereka.

Para tentara Jerman yang tadinya berpangkalan di Jakarta dan Surabaya, pindah bermukim ke Perkebunan Cikopo, Kec. Megamendung, Kab. Bogor. Mereka semua kemudian menanggalkan seragam mereka dan hidup sebagai "warga sipil" di sana.

Pengamat sejarah militer Jerman di Indonesia, Herwig Zahorka, mengisahkan, pada awal September 1945 sebuah Resimen Ghurka-Inggris di bawah komandan perwira asal Skotlandia datang ke Pulau Jawa. Mereka kaget menemukan tentara Jerman di Perkebunan Cikopo.

Sang komandan bertanya kepada Mayor Angkatan Laut Jerman, Burghagen yang menjadi kokolot di sana, untuk mencari tempat penampungan di Bogor.

Menggunakan 50 truk eks pasukan Jepang, orang-orang Jerman di Perkebunan Cikopo itu dipindahkan ke tempat penampungan di Bogor. Namun mereka harus kembali mengenakan seragam mereka, memegang senjata yang disediakan pasukan Inggris, untuk melindungi tempat penampungan yang semula ditempati orang-orang Belanda.

Saat itu, menurut dia, di tempat penampungan banyak orang Belanda yang mengeluh, karena mereka "dijaga" oleh orang Jerman. "Pada malam hari pertama menginap, langsung terjadi saling tembak namun tak ada korban. Ternyata,orang-orang Indonesia menyangka orang Jerman telah tertangkap oleh pasukan.Sekutu, dan mereka berusaha membebaskan orang-orang Jerman itu," kata Zahorka.

Setelah peristiwa itu, Inggris menyerahkan sekira 260 tentara Jerman kepada Belanda yang kemudian ditawan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.

Tercatat pula, beberapa tentara Jerman melarikan diri dari Pulau Onrust, dengan berenang menyeberang ke pulau lain. Di antaranya, pilot pesawat angkatan laut bernama Werner dan sahabatnya Lvsche dari U-219.

Selama pelarian, mereka bergabung dengan pejuang kemerdekaan Indonesia di Pulau Jawa, bekerja sama melawan Belanda yang ingin kembali menjajah. Lvsche kemudian meninggal, konon akibat kecelakaan saat merakit pelontar api

Wawancara dengan Herwig Zahorka
Peperangan Hanya Membawa Kesia-siaan

TAK banyak yang tahu kalau tentara Nazi Jerman pernah datang ke Indonesia. Untuk mengetahui sekelumit sejarahnya, berikut wawancara dengan pengamat sejarah militer Jerman yang tinggal di Indonesia, Herwig Zahorka (72).

Mengapa pasukan Jerman ”berkelana” ke Timur Jauh sampai ke Indonesia?

Asas manfaat, diketahui, saat itu Jerman saling mendukung dengan Jepang dan Italia. Kebetulan, Jerman membutuhkan barang-barang untuk diimpor dengan pendapatan dari pulau yang diduduki Jepang. Repotnya, Asia Tenggara tengah diblokade Armada Sekutu, untuk menembusnya Jerman mengandalkan kapal selam sebagai cara efektif.

Jerman diperbolehkan mengambil bahan-bahan yang diperlukan di Eropa, karet, kina, timah, molybdan, wolfram, lemak, madat, yodium, dan agar-agar, serta bahan penting untuk warna cat penerbangan. Apalagi, banyak perkebunan dan pertambangan di Pulau Jawa, termasuk Jabar, yang dimiliki orang Jerman.

Di tengah tingginya nasionalisme bangsa Indonesia ingin lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang, apakah ada peran secara langsung maupun tak langsung dari pasukan Jerman?

Benar, walau tanpa sengaja. Ini terjadi tanggal 16 Agustus malam, Soekarno dengan Moh. Hatta harus membuat tulisan tangan untuk teks Proklamasi, untuk dibacakan keesokan harinya. Untuk kepastian keamanan, mereka membuatnya di tempat kediaman Laksamana Maeda.

Pagi hari 17 Agustus, teks Proklamasi diketik di sana, namun yang ada hanya mesin tik Jepang yang tak ada huruf latin. Untungnya, di Kantor Komandan Angkatan Laut Jerman di Jakarta yang saat itu masih dipimpin Mayor AL Dr. Kandeler, masih ada mesin tik dengan tombol huruf latin. Segera saja, beberapa orang langsung menuju ke sana dengan menggunakan kendaraan jip milik sekretarisnya Laksamana Maeda, Satzuki Mishima, untuk ”meminjam” mesin tik itu. Alhasil, beberapa jam kemudian, naskah teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, telah dibacakan oleh Soekarno.

Dokumen Proklamasi aslinya diketik oleh Sajuti Melik dengan mesin tik Angkatan Laut Jerman. Mesin tik tersebut sekarang berada di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, namun dari sini ceritanya menjadi banyak keganjilan.

Setelah 61 tahun, kehadiran Jerman di Indonesia dapat disaksikan melalui makam di Arca Domas. Apakah pemerintah Jerman menjadikan makam itu sebagai ”aset sejarah bangsa” di luar negeri?

Tentu saja, malahan pemerintah kami sangat memperhatikan keberadaannya. Makam tentara di Arca Domas sebenarnya dapat lebih terawat lagi, karena negara kami memiliki organisasi perawatan taman makam pahlawan Jerman yang berada di seluruh dunia. Sayangnya, karena peraturan pemerintah Indonesia tidak memperbolehkan makam di Arca Domas dapat dibeli.

Adalah rasa kedekatan dengan para pahlawan bangsa kami walau jauh dari tanah air, karena ”kami memiliki sahabat” yang kini sudah menyatu dengan atmosfer alam tropis. Walaupun kemudian, keberadaan makam di Arca Domas menyadarkan banyak pihak, peperangan akhirnya hanya membawa kesia-siaan. (Kodar Solihat/”PR”)***

Arca Domas, Kenangan Tentara Jerman di Indonesia

JIKA ditempuh dari jalan raya Cikopo Selatan, perlu waktu sekira setengah jam untuk sampai ke lokasi makam di Kampung Arca Domas, Desa Sukaresmi, Kec. Megamendung, Kab. Bogor. Akan tetapi, kendaraan harus "berjibaku" dulu menempuh jalan berbatu tanpa aspal dengan jurang di satu sisi.

MAKAM sepuluh orang angkatan laut Nazi Jerman, dua di antaranya awak kapal selam U-195 dan U-196, di Kampung Arca Domas Desa Sukaresmi Kab. Bogor, menjadi saksi bisu kehadiran pasukan Nazi Jerman di Indonesia pada Perang Dunia II. Anehnya, tidak banyak warga setempat yang tahu keberadaan makam tentara Jerman tersebut. Mereka hanya tahu ada tempat pemakaman di ujung jalan. Padahal, di tempat terpencil itu terbaring jasad sepuluh tentara Angkatan Laut Nazi Jerman (Kriegsmarine) yang meninggal di Indonesia, sesaat setelah Jepang menyerah pada Sekutu, Agustus 1945.

Luas areal pemakaman yang diteduhi pohon kamboja itu, kira-kira 300 meter persegi. Sekeliling makam ditumbuhi tanaman pagar setinggi satu meter. Pintu masuknya dihalangi pagar bambu. Dekat pintu masuk, berdiri tugu peringatan Deutscher Soldatenfriedhof yang dibangun Kedubes Republik Federal Jerman di Jakarta untuk menghormati prajurit Jerman yang gugur.

Mereka adalah Komandan U-195 Friederich Steinfeld dan awak U-195, Dr Heinz Haake. Lainnya adalah pelaut Jerman, Willi Petschow, W. Martens, Wilhelm Jens, Hermann Tangermann, Willi Schlummer, Schiffszimmermann (tukang kayu kapal laut) Eduard Onnen. Dua nisan terpisah adalah makam tentara tidak dikenal (Unbekannt).

Makam itu terletak di lahan Afdeling Cikopo Selatan II Perkebunan Gunung Mas. Dahulu, makam itu dirawat PT Perkebunan XII (kini PT Perkebunan Nusantara VIII) selaku pengelola Perkebunan Gunung Mas, namun sejak beberapa tahun terakhir perawatan makam dibiayai pemerintah Jerman. Lahan yang bersebelahan dengan makam tadinya areal tanaman teh dan kina. Akan tetapi, tanaman tersebut habis dijarah, beberapa tahun lalu.

Pengamat sejarah militer Jerman di Indonesia, Herwig Zahorka yang dihubungi "PR", mengatakan, Letnan Friederich Steinfeld meninggal di Surabaya akibat disentri dan kurang gizi saat ditawan Sekutu. Keterangan ini diperoleh dari mantan awak U-195 yang bermukim di Austria, Peter Marl (82tahun) dan mantan awak U-195 lainnya, Martin Mueller yang datang ke makam tahun 1999.

Sedangkan Letnan Satu Laut Willi Schlummer dan Letnan Insinyur Wilhelm Jens, tewas dibunuh pejuang kemerdekaan Indonesia dalam Gedung Jerman di Bogor, 12 Oktober 1945. Kemungkinan, mereka disangka orang Belanda apalagi aksen bahasanya mirip.

Letnan Laut W. Martens terbunuh dalam perjalanan kereta api dari Jakarta ke Bogor. Kopral Satu Willi Petschow meninggal 29 September, karena sakit saat di Perkebunan Cikopo, serta Letnan Kapten Herman Tangermann meninggal karena kecelakaan pada 23 Agustus tahun yang sama.

"Kendati saat itu terjadi salah sasaran karena disangka orang Belanda, namun kemudian banyak orang Indonesia mengenali ternyata mereka orang Jerman. Ini kemudian menjadikan hubungan tersebut menjadi persaudaraan," kata Zahorka, pensiunan direktur kehutanan Jerman, yang bermukim di Bogor dan menikahi wanita Indonesia.

Mengenai keberadaan dua arca di makam tersebut, Zahorka mengatakan, arca-arca itu sengaja disimpan sebagai penghormatan kepada budaya warga setempat.

Warga Kampung Arca Domas, Abah Sa'ad (76 th), seorang saksi hidup peristiwa penguburan tentara Jerman di kampungnya, Oktober 1945. Saat itu, usianya 15 tahun. Ia ingat, prosesi pemakaman dilakukan puluhan tentara Nazi Jerman secara kemiliteran. Peristiwa itu mengundang perhatian warga.

"Waktu itu, masyarakat tidak boleh men-dekat. Dari kejauhan, tampak empat peti mati diusung tentara Jerman, serta sebuah kendi yang katanya berisi abu jenazah. Tentara Jerman itu berpakaian putih, dengan dipimpin seorang yang tampaknya komandan mereka karena menggunakan topi pet," tuturnya.

Sepengetahuan Abah Sa'ad, mulanya, makam tentara Jerman itu hanya ditandai nisan salib biasa, sampai kemudian ada yang memperbaiki makam itu seperti sekarang.

Keasrian dan kebersihan makam tersebut tidak lepas dari peran penunggu makam, Mak Emma (65) yang dibiayai Kedubes Jerman dua kali setahun. " Biasanya, setiap tahun ada warga Jerman yang menjenguk makam pahlawan negaranya itu," ujarnya.

Namun, dia kurang tahu sejarah makam itu karena baru diboyong suaminya (pensiunan karyawan Perkebunan Gunung Mas) 10 tahun lalu. Ia meneruskan pekerjaan suaminya (alm.) menjadi kuncen.

Jakarta Pernah Disinggahi Senjata Nuklir

U-195 dan U-219 Nyaris Ubah Sejarah

DARI berbagai kapal selam Jerman yang beraksi di Indonesia adalah U-195 dan U-219 yang bisa mengubah sejarah di Asia-Pasifik, jika Jerman dan Jepang tidak keburu kalah. Kedua kapal selam itu membawa uranium dan roket Nazi Jerman, V-2, dalam keadaan terpisah ke Jakarta, untuk dikembangkan pada projek senjata nuklir pasukan Jepang di bawah pimpinan Jenderal Toranouke Kawashima.

Ini merupakan langkah Jerman membantu Jepang, yang berlomba dengan Amerika Serikat dalam membuat senjata nuklir untuk memenangkan Perang Dunia II di Kawasan Asia-Pasifik. Rencananya, projek senjata nuklir Jepang untuk ditembakkan ke wilayah Amerika Serikat.

Kapal selam U-195 tiba di Jakarta pada 28 Desember 1944 dan U-219 pada 11 Desember 1944. Richard Besant dalam bukunya berjudul Stalin's Silver dan Robert K Wilcox dalam Japan's Secret War, hanya menyebutkan, kedua kapal selam itu membawa total 12 roket V-2 dan uranium ke Jakarta.

Namun, berbagai catatan tentang diangkutnya uranium dan roket V-2 untuk Jepang itu melalui Indonesia, hanya berhenti sampai ke Jakarta. Seiring menyerahnya Jerman kepada pasukan Sekutu di Eropa pada 8 Mei 1945, keberadaannya tidak jelas lagi.

Sementara itu, projek senjata nuklir Jepang di Hungnam, bagian utara Korea, sudah menguji senjata nuklirnya sepekan lebih cepat dari Amerika Serikat. Namun Jepang kesulitan melanjutkan pengembangan, karena untuk material pendukung harus menunggu dari Jerman.

Kapal selam U-195 dan U-219 kemudian dihancurkan pasukan sekutu, saat keduanya sudah berpindah tangan ke Angkatan Laut Jepang. Sebagian awak U- 95 sendiri, ada yang kemudian meninggal dan dimakamkan di Indonesia.

Kapal U-195 (Type IXD1) dikomandani Friedrich Steinfeld, selama tugasnya sukses menenggelamkan dua kapal sekutu total bobot mati 14.391 GRT dan merusak sebuah kapal lainnya yang berbobot 6.797 GRT. Kapal selam itu kemudian dihibahkan ke AL Jepang di Jakarta pada Mei 1945 dan berubah menjadi I-506 pada 15 Juli 1945. Kapal ini kemudian dirampas Pasukan Sekutu di Surabaya pada Agustus 1945 lalu dihancurkan tahun 1947.

Sedangkan U-219 (Type XB) dikomandani Walter Burghagen, yang selama aksinya belum pernah menenggelamkan kapal musuh. Kapal selam ini kemudian dihibahkan ke AL Jepang di Jakarta, lalu pada 8 Mei 1945 berubah menjadi I-505. Usai Jepang menyerah Agustus 1945, I-505 dirampas Pasukan Sekutu lalu dihancurkan di Selat Sunda oleh Angkatan Laut Inggris pada tahun 1948.

Kisah aksi tugas kapal selam Jerman selama perang Dunia II juga menjadi ilham dibuatnya film berjudul "Das-Boot," yang dirilis di Jerman tahun 1981. Salah satu nara sumber autentik mengenai kehidupan para awak u-boat, adalah mantan perwira pertama dari U-219, Hans Joachim Krug, yang kemudian menjadi konsultan film itu.

Tak heran, pada film berdurasi 145 menit tersebut, para awak kapal selam Jerman tergambarkan secara autentik. Pergi berpenampilan rapi namun pulang dalam keadaan dekil, maklum saja karena berhari-hari bahkan berminggu-minggu di dalam air, mereka jarang mandi sehingga janggut, kumis, dan rambut pun cepat tumbuh.

U-234

Sementara itu, pada jalur pelayaran lain, U-234 yang juga dari Type XB berangkat menuju Jepang melalui Lautan Artik menjelang Mei 1945. Kapal selam itu juga mengangkut komponen roket V2 dan 500 kg uranium untuk projek nuklir pasukan Jepang, serta membawa pesawat tempur jet Me262.

Kapal U-234 membawa Jenderal Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe), sejumlah rancangan senjata paling mutakhir Jerman saat itu, serta dua orang perwira Jepang. Selama perjalanan, sejumlah kapal perang dan pesawat Sekutu mencoba menenggelamkan U-234.

Usai Jerman menyerah, 8 Mei 1945, sejumlah awak U-234 memutuskan menyerah kepada pasukan Amerika Serikat. Dari sini cerita berkembang, pasukan Amerika mendapati kapal selam itu membawa uranium yang kemudian digunakan untuk projek Manhattan dalam produksi bom nuklir mereka.

Muncul kemudian spekulasi, bom nuklir yang berbahan uranium dari U-234 itu, kemudian digunakan Amerika untuk mengebom Nagasaki dan Hiroshima Jepang pada Agustus 1945.

[b]Misteri Hilangnya U-196 di Laut Kidul[/b]

DARI sejumlah kapal selam Jerman yang beraksi di perairan Indonesia, adalah U-196 yang masih menyimpan misteri keberadaannya.

Sampai kini, nasib kapal selam Type IXD2 itu hanya dikabarkan hilang di Laut Kidul (sebutan lain untuk bagian selatan Samudra Hindia).

Berbagai catatan resmi u-boat di Jerman, U-196 dinyatakan hilang bersama seluruh 65 awaknya di lepas pantai Sukabumi sejak 1 Desember 1944. Sehari sebelumnya, kapal selam yang dikomandani Werner Striegler itu, diduga mengalami nasib nahas saat menyelam.

Kapal selam U-196 meninggalkan Jakarta pada 29 November 1944, namun kemudian tak diketahui lagi posisi terakhir mereka selepas melintas Selat Sunda. Pesan rutin terakhir kapal selam itu pada 30 November 1944 hanya "mengabarkan" terkena ledakan akibat membentur ranjau laut lalu tenggelam.

Namun dari ketidakjelasan nasib para awak U-196, ada satu nama yang dinyatakan meninggal di Indonesia. Ia adalah Letnan Dr. Heinz Haake yang makamnya ada di Kampung Arca Domas Bogor, bersama sembilan tentara Nazi Jerman lainnya.

Minim catatan mengapa jasad Haake dapat dimakamkan di sana, sedangkan rekan-rekannya yang lain tak jelas nasibnya. Hanya kabarnya, ia dimakamkan atas permintaan keluarganya.

Selama kariernya, U-196 pernah mencatat prestasi saat masih dipimpin komandan sebelumnya, Friedrich Kentrat. Kapal selam itu melakukan tugas patroli terlama di kedalaman laut selama 225 hari, mulai 13 Maret s.d. 23 Oktober 1943. Kapal tersebut menenggelamkan tiga kapal musuh dengan total bobot 17.739 GRT.

Posisi Friedrich Kentrat kemudian digantikan Werner Striegler (mantan komandan U-IT23) sejak 1 Oktober 1944, sampai kemudian U-196 mengalami musibah sebulan kemudian.

Kendati demikian, sebagian pihak masih berspekulasi atas tidak jelasnya nasib sebagian besar awak U-196. Walau secara umum mereka dinyatakan ikut hilang bersama kapal selam itu di Laut Kidul, namun ada yang menduga sebagian besar selamat.

Konon, kapal ini datang ke Amerika Selatan kemudian sebagian awaknya bermukim di Iqueque, Chile. Dari sini pun, tak jelas lagi apakah U-196 akhirnya benar-benar beristirahat di sana, apakah kemudian kapal selam itu ditenggelamkan atau dijual ke tukang loak sebagai besi tua, dll.

Seseorang yang mengirimkan e-mail dari Inggris, yang dikirimkan 14 Oktober 2004, masih mencari informasi yang jelas tentang keberadaan nasib awak U-196. Ia menduga, U-196 sebenarnya tidak mengalami kecelakaan terkena ranjau di sekitar Selat Sunda dan Laut Kidul, sedangkan para awaknya kemudian menetap di Cile.

Keyakinannya diperoleh setelah membaca sebuah surat kabar di Cile, sejumlah awak kapal selam Jerman telah berkumpul di Iqueque pada tahun 1945. Mereka tiba bersamaan dengan kapal penjelajah Almirante Latorre, yang mengawal mereka selama perjalanan dari Samudra Hindia. Di bawah perlindungan kapal penjelajah itu, kapal selam tersebut beberapa kali bersembunyi di perairan sejumlah pulau, sebelum akhirnya berlabuh di Pantai Selatan Cile.

Yang menimbulkan pertanyaan dirinya, mengapa setelah tiba di Cile, tak ada seorang pun awaknya pulang ke Jerman atau mencoba bergabung kembali dengan kesatuan mereka. Ini ditambah, minimnya kabar selama 50 tahun terakhir yang seolah-olah "menggelapkan" kejelasan nasib U-196, dibandingkan berbagai u-boat lainnya yang sama-sama beraksi di Indonesia.

Entahlah, kalau saja Dr. Heinz Haake masih hidup dan menjadi warga Negara Indonesia, mungkin ia dapat menceritakan peristiwa yang sebenarnya menimpa U-196.

Peta Lokasi Tenggelamnya U-Boat Masa PD II


U-168, komandan Helmuth Pich, tenggelamkan dua kapal dagang lawan total 6.568 GRT, 1 kapal perang sekutu berbobot 1.440 GRT, serta merusak kapal lainnya berbobot 9.804 GRT. Nasib akhir tenggelam di Laut Jawa pada 6 Oktober 1944 pada posisi 06.20LS, 111.28BT, akibat torpedo kapal selam Belanda, HrMs Zwaardvisch. Sebanyak 23 awak U-168 tewas dan 27 lainnya selamat, kemudian ditawan di Surabaya dan Australia.

U-183, komandan Fritz Schneewind, tenggelamkan empat kapal lawan total 19.260 GRT, dan satu kapal lawan berbobot 6.993 GRT. Kapal selam ini kemudian tenggelam di Laut Jawa, 23 April 1945, ditorpedo kapal selam Amerika Serikat, USS Besugo. Sebanyak 54 awak U-183 tewas dan hanya seorang yang selamat, yaitu Schneewind. Usai perang, ia tinggal di Padang, Sumbar sampai akhir hayatnya, karena ia lahir di sana 10 April 1917.

U-859, komandan Johann Jebsen, tenggelamkan tiga kapal lawan total 20.853 GRT. Tenggelam di Selat Malaka, 23 September 1944, pada posisi 05.46LT, 100.04BE, ditorpedo kapal selam Inggris, HMS Trenchant. Sebanyak 47 awaknya tewas dan 20 lainnya selamat.

U-537, komandan Peter Schrewe (27 Januari 1943-9 November 1944), tak menenggelamkan kapal musuh. Nasib terakhir, tenggelam bersama seluruh 58 awaknya pada 9 November 1944 di Laut Jawa bagian Timur Surabaya pada posisi 07.13 LS 115.17 BT, akibat serangan torpedo kapal selam AS, USS Flounder.

UIT-23, tadinya kapal selam Italia, Reginaldo Giuliani, diambilalih Jerman di Singapura, 10 September 1943. Dikomandani Werner Striegler, kapal selam ini tenggelam di Selat Malaka, karena ditorpedo kapal selam Inggris, HMS Talluho. Sebanyak 26 awaknya tewas, 14 lainnya selamat, termasuk Striegler yang kemudian mendapat kapal selam baru, U-196.

U-196 dikomandani Werner Striegler, menenggelamkan tiga kapal musuh dengan total 17.739 GRT. Nasib terakhir, hilang sejak 1 Desember 1944, di sekitar Selat Sunda dan Samudra Hindia Bagian Selatan Pulau Jawa, posisi pasti tak diketahui.

Kapal selam Jerman yang berpangkalan di Jakarta. Berikut u-boat, nama komandan, dan nasibnya:

U-168 Helmut Pich, Jakarta 4/10/1944, tenggelam 6/10/1944
U-181 Kurt Freiwald, Jakarta 19/10/1944, Jakarta 5/01/1945
U-537 Peter Schrewe, Jakarta 8/11/1944, tenggelam 9/11/1944
U-196 Werner Striegler, Jakarta 11/11/1944, tenggelam 30/11/1944
U-510 Alfred Eick, Jakarta 26/11/1944, Jakarta 3/12/1944
U-843 Oskar Herwartz, Jakarta 10/12/1944, Bergen 3/04/1945
U-510 Alfred Eick, Jakarta 11/01/1945, Prancis 24/04/1945
U-532 Ottoheinrich Junker, Jakarta 13/01/1945, menyerah
U-861 Juergen Oesten, Jakarta 14/01/1945, Norwegia 18/04/1945
U-195 Friedrich Steinfeld, Jakarta 17/01/1945, Jakarta 3/03/1945
U-183 Fritz Schneewind, Jakarta 22/04/1945, tenggelam 24/04/1945

(Kodar Solihat/”PR”)***

Referensi :
U-195
Unterseeboot_852
Unterseeboot_859
Unterseeboot_862
The Monsun Boats
Forum TNI AU
U Boat For From Home



LA TAHZAN (Jangan Bersedih!) Karangan Dr. Aid Al-Qarni



Saat ini anda bersedih karena memikirkan hidup anda yang anda anggap tidak beruntung? Anda susah tidur karena banyak masalah yang di hadapi? Jika anda merasakan semua hal itu ada baiknya anda membaca buku ini. Buku karangan Dr. Aid Al-Qarni ini sangat enak dibaca dan memberikan setetes kesejukan bagi anda. Apapun keyakinan anda, Insya ALLAH anda akan terhibur dan tidak sedih dengan membaca buku ini.

E- book yang tersedia hanya sebagian dari keseluruhan buku, tapi bisa menjadi gambaran betapa isi buku ini begitu hebat. Untuk lebih memaknai isi buku saya sarankan beli buku versi cetak biar bisa di baca dimana-mana (tidak harus di depan computer/laptop).

Wednesday, December 24, 2008

Shalahuddin Al Ayyubi, Pahlawan Islam dari Seratus Medan Pertempuran (1137 - 1193 M)


SULTAN SALAHUDDIN AL-AYYUBI, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.

Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan pantang menyerah yang ditunjukkan melalui "Siratun Nabawiyah". Hingga kini peringatan itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris.

Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam.

Seorang penulis Barat berkata, "Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin".

"Setiap cara dan jalan ditempuh", kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.

Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus.

"Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan dan kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar" demikian tulis pengarang Perancis Michaud.

Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna melakukan perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah yang mereka lalui" kata Marbaid.

Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut keterangan penulis Mill "terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.

Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka ini telah disusul dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.

John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: "Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk "Kutub Khanah" (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur itu. "Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga," kata Stuart Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.

Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini disambut oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara Salib itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa.

Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?

Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.

Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan Perang Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut Michaud �memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai ringgi.�

Ibnu Aziz AI Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: "Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".

Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah.

Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana itu. Pada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa yang sesungguhnya di Mesir.

Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh.

Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.

Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh. dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.

Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan." Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.

Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.

Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.

Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat. mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum peenyerbu itu yang terdengar hanyalah erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d' Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit.

Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. Semua tawanan kata Michaud, yang tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas timbunan mayat.

Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu. Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina dina.

Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula : Telah diputuskan, bahwa kaum Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada buah dadanya, anak-anak laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh anak-anak. Tiada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan.

Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.

Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M, dia memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan mempunyai sandaran hidup.�

Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah dikalahkan itu.

Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kepada mcreka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi ini, kata Michaud. �Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya,� kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.

Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.

Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.

Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata saudara sesama kaum Muslimin.

Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.

Akhirnya Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai yang diterima oleh Sultan. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.

"Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu" tulis Michaud "di mana gabungan pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam pertempuran ini.

Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.

Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. "Hari itu merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin" demikian tulis seorang penulis Islam. Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan dan tangisan.

Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. "Di Eropa" tulis Philip K Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria.

Semoga Allah melapangkan kuburnya.

Disarikan dari:

1. Shalahuddin al-Ayyubi, oleh Kwaja Jamil Ahmad (Lihat: Suara Masjid No. 91, Jumadil Akhir-Rajab 1402 H/April 1982 M)

2. The Preaching of Islam, oleh Thomas W. Arnold.

NB:

- "Shalahuddin", kadang ditulis dengan ejaan: Saladin (biasanya oleh Barat), Sholahuddin, atau Salahuddin.

- Saat ini, sineas Barat sedang membuat film berjudul "Kingdom of Heaven". Film tersebut, terlepas benar atau tidaknya isi cerita, berkaitan dengan tokoh Shalahuddin ini.

Sumber : http://www.hudzaifah.org