"Sebuah cerita dari jatuhnya beberapa kerajaan , dari pohon-pohon keramat , dari kebrutalan perang, dari kapal-kapal perang yang tenggelam, dari roh para awak kapal, dan dari heningnya kuburan pada lereng sebuah gunung api tropis".
Cerita
Pada lereng bukit gunung api Pangrango di Jawa Barat, hampir pada ketinggian 1.000 m, terdapat sepuluh nisan seputih salju. Nisan ini berbentuk Salib Besi. Delapan nisan masih ada dikenal namanya dan sedangkan dua nisan lagi sudah tidak dikenal dan tidak ada namanya. Mereka adalah kuburan yang terakhir dari pelaut muda pada Perang Dunia ke-Dua dari kapal laut yang datang kemari, dalam bentuk petualangan perjalanan dengan menggunakan kapal selam (U-Boote). Mereka dimakamkan di tanah keramat yang bersejarah.
Disini di Jawa Barat pernah ada kerajaan-kerajaan Sunda. Dinasti kerajaan Hindu, dari Tarumanegara sampai Pajajaran, penguasa penganut Hindu pendeta tertinggi selama 1.000 tahun lamanya melalui rakyat Sunda. Selama ratusan tahun, roh dari orang orang Hindu yang sudah meninggal diangkat kepada para dewa di tanah yang disucikan pada lereng pegunungan Pangrango. Empat pohon Beringin keramat (Ficus sp.) mengelilingi tanah keramat yang bertingkat-tingkat tersebut. Batu kuburan yang berukir yang kira-kira berjumlah 800, dan tempat suci ini bernama Arca Domas yang dalam bahasa Sanskerta berarti 800 patung.
Dari tahun 1527 para pejuang Islam di bawah pimpinan Fatahillah menghancurkan Kerajaan Pakuan Pajajaran dan berakibat banyak orang Sunda yang masuk Agama Islam. Banyak Istana dan pura atau candi yang musnah. Para pendeta Hindu mungkin lari ke Pegunungan yang terpencil dan berlindung dari pengaruh luar. Tidak ada orang asing yang diizinkan untuk memasuki wilayah "Kenekes" atau lebih dikenal dengan nama suku "Badui". Di daerah suku "Badui" ini juga terdapat tanah keramat Arca Domas.
Dengan berjalannya waktu banyak batu dan patung yang digunakan untuk membangun rumah. Pada Litografi pertengahan abad ke 19 tampak patung-patung dengan "gaya Polinesia". Patung seperti ini juga terdapat di Museum Nasional, Jakarta. Belakangan, lereng ini digunakan untuk lahan pertanian, tetapi pohon-pohon Beringin yang ada masih mengingatkan masyarakat akan tempat suci ini.
Setelah Perang Dunia ke Satu, dua orang Jerman bersaudara, Emil dan Theodor Hellferich membeli tanah di daerah ini seluas 900 hektar dan membangun pabrik dengan keuntungan dari perkebunan teh. Mereka mempunyai pabrik teh pribadi lengkap dengan kabel pengangkut untuk mengangkut daun teh ke pabrik. Gedung yang megah telah dibangun di daerah ini dimana iklim yang sejuk dan nyaman diatas ketinggian 900 m dari permukaan laut. Karena kakak tertua mereka, Karl Helfferich, adalah mantan wakil perdana menteri di bawah Kekaisaran Jerman yang terakhir, mereka membangun sebuah monumen diantara pohon-pohon tua untuk memperingati Deutsch-Ostasiatisches Geschwader (Armada Jerman Asia Tenggara) dari Admiral Graf Spee yang tenggelam oleh tentara Inggris. Pada monumen tersebut terukir kalimat "Untuk para awak Armada Jerman Asia Tenggara yang pemberani 1914. Dibangun oleh Emil dan Theodor Helfferich." Sebagai penghargaan pada agama tua Jawa, mereka membangun patung Buddha dan patung Ganesha di kedua sisi monumen tersebut.
Peresmian terjadi pada tahun 1926 ketika sebuah kapal penjelajah Jerman dengan nama "Hamburg" melakukan kunjungan pada zaman Kolonial Belanda. Seorang Letnan Kapten muda, Hans Georg von Friedeburg menulis tentang upacara itu dari bukunya dengan judul "Kedalaman 32.000 mil laut pada laut biru". Kemudian, ia menjadi Jendral Admiral dan mengakhiri hidupnya pada tahun 1945 akibat kapitulasi Jerman. Anak laki - lakinya kemudian menjadi Mentri Pendidikan di Land Hessen, Jerman.
Helfferich bersaudara kembali ke Jerman pada tahun 1928 dan meninggalkan Albert Vehring dari Bielefeld untuk tekhnisi manajemen perkebunan teh mereka. Dia sudah berpengalaman tentang perkebunan teh di daerah New Guinea. Namanya akan selalu berkaitan dengan Arca Domas.
Mulainya Perang Dunia ke-Dua
1939 membawa perang Dunia ke-Dua, dan 10 Mei 1940 prajurit Jerman menginvasi Belanda. Masih dalam hari yang sama Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia menahan sebanyak 2.436 orang Jerman untuk ditahan. Kebanyakan dari mereka adalah anggota administrasi kolonial bersama dengan keluarga mereka, ahli budaya, insinyur, dokter, ahli ilmu pegetahuan, ahli minyak bumi. Dan juga diplomat, banyak misionaris, penjual, pelaut, beberapa seniman seperti penemu sekolah lukis Bali yang terkenal, Walter Spies, ada diantaranya. Kamp pengasingan terbesar berada di Sumatera Utara. Para pria diambil dari istri dan anak - anak mereka. Kurang lebih 100 wanita dan anak - anak kemudian dapat berangakat ke Cina dan Jepang melalui perantara dari Helfferichs, juga istri dari Albert Vehring, Ibu Hildegard. Perkebunan Helfferich kemudian diambil alih oleh Belanda.
Tenggelamnya Kapal "VAN IMHOFF" dan Kemerdekaan Republik Nias
Pada tanggal 14 Desember 1941 pasukan Jepang mendarat di Borneo dan pada bulan Februari tahun 1942 di Air Bangis, Sumatra Barat. Orang - orang Jerman tidak boleh jatuh ke tangan tentara Jepang, karena Jerman dan Jepang telah bersekutu. Pemerintah kolonial Belanda meutuskan untuk membawa para tawanan Jerman ke tangan kolonial Inggris India. Dua kapal Belanda dengan tawanan Jerman berangkat dari Sibolga, Sumatera. Dan pada tanggal 18 Januari kapal 3000 ton yang ke tiga berangkat, kapal tersebut bernama KPM "VAN IMHOFF". Kapten kapal tersebut bernama Bongvani. Setelah beberapa jam berada di lautan, kapal tersebut diperintahkan untuk kembali dan membawa beberapa orang Jerman lagi. 477 orang Jerman pada akhirnnya ditawan pada ketinggian satu meter, dengan kawat berduri mengelilingi mereka, dan diantara mereka juga ada Albert Vehring dan Walter Spies. Belanda mengawasi mereka dengan 62 tentara yang bersenjata. Selanjutnya para kru - krunya kurang lebih memegang 48 orang. Kapal itu tidak menggunakan tanda simbol Palang Merah.
Pada keesokan harinnya, kapal tersebut mendapat serangan dari pesawat tempur Jepang. Dua bom mendarat di laut, tetapi bom yang ke tiga mengenai kapal tersebut. Perwira ke satu mengatakan kepada para tawanan Jerman bahwa kapal tersebut tidak berada dalam keadaan berbahaya, bahkan sudah meminta bala bantuan yang akan segera datang. Orang - orang di belakang kawat berduri itu tidak perlu panik.
Tetapi para tawanan Jerman sangat terkejut, ketika mereka melihat orang - orang Belanda menurunkan lima perahu kargo yang ditarik dengan perahu motor penarik. Dengan kapal kargo tersebutlah, orang - orang Belanda meninggalkan kapal dan menuju ke Sumatera. Setiap 5 ton perahu kargo tersebut bisa membawa sekitar 80 orang dan perahu motor penarik yang dapat menampung 60 orang lagi. Beberapa diantara perahu ini hampir kosong.
Para tawanan Jerman tadi akhirnya dapat mengeluarkan diri mereka dari penjara dan mereka menyadari bahwa kapal tersebut akan tenggelam. Mereka menemukan bahwa para orang - orang Belanda telah merghancurkan pompa air dan jaringan komunikasi kapal tersebut. Pada bagian belakang kapal, mereka menemukan sebuah sekoci penolong yang tidak bisa diangkat dari tempatnya oleh orang - orang Belanda sebelumnya. Bahkan dayung dari sekoci tersebut telah dipatahkan oleh orang - orang Belanda. Sekoci tersebut dapat memuat sekitar 42 orang di dalamnya. Beberapa orang Jerman yang kuat dapat mengangkat lalu memindahkan sekoci tersebut ke perairan, kemudian sekitar 53 orang Jerman masuk ke dalam sekoci tersebut. Mereka menggunakan papan sebagai dayung dan menjauh dari kapal yang tenggelam tersebut agar selamat dari arus kapal tersebut.
Kira - kira 200 pria sudah meloncat ke air dan berharap datangnya bantuan. Walaupun demikian, bom yang meledak telah membunuh banyak ikan - ikan yang dapat menarik perhatian ikan hiu yang datang dan menyerang orang - orang yang tak terselamatkan tersebut. Beberapa orang diantara mereka memutuskan untuk bunuh diri. Beberapa orang yang kuat diantara mereka mambangun rakit dari kayu - kayu dan tali yang mereka temukan di kapal sebelum tenggelam. Teman dari Albert Vehring menemukan sebuah sampan dayung yang panjangnya 2 atau 3 m di tempat yang tersembunyi. 14 orang masuk ke dalamnya. Vehrings yang memimpin komando sampan dayung tersebut. Pinggiran perahu tersebut hanya kira - kira berjarak 10 cm dari permukaan laut. Ketika perahu dayung mereka telah berjarak 100 m dari kapal, kapal tersebut akhirnya tenggelam dengan seketika. Sekitar 200 orang masih tertinggal di atas kapal yang tenggelam tersebut.
Kedua perahu dan sebuah rakit tersebut berusaha untuk mencapai pulau Nias yang berjarak 55 mil laut dari tempat tenggelamnya kapal. Keesokan harinya, tanggal 20 Januari, sebuah kapal Belanda yang bernama "BOELOENGAN" mendekati kelompok orang - orang Jerman tersebut. Kapal tersebut mendekat kira - kira 100 m dari perahu Vehring. Dari atas kapal ada yang meneriakkan "apa kalian orang Belanda?". Saat mereka mengetahui bahwa ini adalah kelompok orang Jerman, kapal "BOELOENGAN" berbalik arah lalu menghilang meninggalkan mereka. Oleh karena ini, orang - orang Jerman yang berada di atas rakit tidak dapat kesempatan untuk selamat. Seorang penjual toko emas Yahudi yang telah meninggalkan Nazi Jerman, meloncat ke perairan dan berenang menuju ke kapal "BOELOENGAN". Walaupun demikian, tanpa kasihan orang - orang Belanda menolaknya dan memaksanya kembali ke perairan. Ini adalah keputusan mati yang tidak layak.
Kemudian pada tanggal 20 Juni 1949, Albert Vehring melaporkan kejadian yang tak dapat terbayangkan itu dengan mengangkat sumpah kepada notaris Jerman, Bernhard Grünewald, di Bielefeld. Dia memberikan penjelasan bahwa pada saat air laut naik, setengah dari awak perahunya keluar dari perahu dan berpergangan pada perahu agar perahu tersebut dapat menjadi lebih ringan. Dan orang - orang yang berada di rakit tidak dapt diselamatkan lagi.
Pada hari ke 4 tepatnya 23 Januari 1942, mereka sampai dalam keadaan kehausan, lapar, kekeringan dan terbakar matahari di pantai menanjak pulau Nias. Perahu yang lebih besar terbalik akibat hempasan. Karenanya, satu orang meninggal dunia. Satu orang tua yang berusia 73 tahun menggantung dirinya karena putus asa. Keesokan paginya, beberapa orang Nias yang bersahabat dan seorang pastur Belanda, Ildefons van Straalen, memberikan makanan dan minuman kepada orang - orang yang selamat.
Dalam keberuntungan ini ditemukan 411 orang tentara Jerman yang mati, 20 Protestan dan 18 Katholik misionaris seperti orang yang cerdas artis Walter Spies. 67 orang mencapai Nias dari 65 orang yang masih bertahan. Karena kapal "VAN IMHOFF" kepunyaan dari Belanda KPM dan Belanda menduduki Jerman. Asuransi dari KPM harus membayar kompensasi untuk 4 milion Gilder kepada para keluarga yang mati di Jerman. Satu kali saja perangnya terjadi. Setelah perang tersebut orang tua dari Walter Spies yang mati dimana tinggal di Inggris membuat surat pengaduan di Pengadilan melawan Kapten dari "VAN IMHOFF" namanya Bongovan. Dia hampir kena hukuman mati, tetapi cepat mendapat pengampunan.
Pada keesokan harinya yang hidup di Nias tertangkap oleh orang Belanda dan dibawa ke ibukota Gunung Sitoli. Disana mereka dibawa ke tempat penjara Polisi, penjaganya dari orang Belanda dan polisi Indonesia dari Sumatra Utara. Polisi Indonesia sangat kaget bahwa mereka menjaga orang Jerman karena sebelumnya orang Jerman telah mengalahkan kehidupan Pemerintah Kolonial di Belanda. Albert Vehring bekerjasama bersekongkol dengan polisi Indonesia.
Orang Jerman bersekutu dengan polisi Indonesia dan pada hari Minggu Palem pada tahun 1942 orang Belanda dipenjara. Jepang pada waktu itu sedang mendarat di Sumatra dan Jawa dan mengirim semua orang Belanda ke pengasingan dan dalam takdirnya mereka, sangat ironi sekali. Sekarang sangat tidak percaya apa yang telah terjadi di Nias, membuat kita hari ini tersenyum:
Jerman berproklamasi dengan Nias "Kemerdekaan Republik Nias". Komisaris perusahan Bosch, Herr Fischer, telah menjadi Perdana Mentri dan Albert Vehring menjadi Mentri Luar Negri. Mereka menjadikan rekan dengan Nias. Nias menjadi senang pada akhirnya mereka bersorak sorai telah mendapat kekuatan. Beberapa minggu kemudian orang Jerman bersama dengan Nias melakuakan perjanjian Pulau Nias. Kemudian Albert Vehring berlayar ke Sumatra untuk membuat kontak dengan orang Jepang. Orang Jepang datang ke Nias pada tanggal 17 April 1942 dan membawa orang Belanda untuk dipenjara, dan dimana ada juga Pastor van Straalen.
Orang Jerman bisa kembali lagi ketempat pertama kali mereka bekerja disana dan "Kemerdekaan Republik Nias" telah melepaskan mereka kembali. Albert Vehring bekerja untuk orang Jepang di hotel, memproduksi senapan dan menjadi Insinyur Kapal di Singapura.
Kapal Selam Jerman di Tanjung Priok dan Surabaya
Jerman berusaha lagi dengan barang - barang untuk diimport dengan pendapatan kotor dari pulau pendudukan sekutu Jepang. Tapi akibat blokade sekutu, hanya satu kapal yang dapat mendarat di perairan pendudukan Jerman di Eropa.
Karena itu pada bulan Mei 1943 Angkatan Laut Jerman dimana menguasai dengan persetujuan Angkatan Kepala Jepang detasemen marinir Jerman di Penang, Singapura, Jakarta, dan Surabaya. Orang Jepang memberi nama Jakarta menjadi Batavia. Jerman mendapat undang-undang dan memutuskan mengimport dengan bahan baku dengan menggunakan kapal - kapal selam, yaitu karet, timah, molybdan, wolfram, lemak, kinine, madat, yodium, dan agar - agar, dengan bahan penting untuk warna cat penerbangan. Dengan sekitar 150 ton dalam kapal sangat banyak sehingga menjadi sempit.
Titik Pusat di Jakarta, Mayor Angkatan Laut, Dr. Hermann Kandeler, dimana dia juga seorang Wakil anggota Diplomatik yang mencerminkan pilihan rakyat Deutsches Reich, berkuasa mengadakan perundingan orang Jepang bahwa Villa dari Helfferichs di perkebunan teh Cikopo diatas Bogor dekat Arca Domas diberikan kembali ke pada orang Jerman. Albert Verhing telah dibawa kembali kesini. Tumbuhan tersebut bisa menjadi seperti surgawi para kru kapal-kapal manjadi kelelahan. Dengan tiga atau lima bulan keliling Afrika, didalam bawah laut dan dengan mendirikan tenda datang tersebut dengan kondisi harus diperbaiki. Berlangsungnya perbaikan kapal tersebut orang yang "berseragam biru" mereka bisa menikmati tempat itu tropis surgawi dan mereka bisa melupakan sejenak untuk waktu yang singkat kejamnya perang dan bahayanya pelayaran laut.
Dalam pimpinan Albert Vehring telah menyediakan untuk angatan laut dan menyediakan sayur-sayuran, kentang, dan sepertri gorengan sapi, babi, ayam bakar, karena itu perkebunan itu mendapat julukan "U-Boots-Weide" (padang rumput untuk kapal selam). Malam yang panjang perpisahan telah dirayakan disini dan menyanyikan lagu dari daerah asalnya melewati malam tropis untuk setengahnya sahabat telah menjadi perayaan yang terakhir untuk hidup yang sangat pendek. Selanjutnya dari beberapa orang dari mereka menjadi tempat tinggal yang terakhir.
Pada tahun 1943 dan 1944 bersama dengan 42 kapal selam telah dikirim ke Asia Tenggara. Kapal selam U-180 telah dua kali dikirim. Hanya 13 kapal yang tidak dikirim. 11 dari ini "Monsun boats" telah dilarikan ke Jakarta. Lima dari kapal tersebut tinggal di bawah laut.
Pada tanggal 5 Oktober 1944 U-168 di bawah Kapten Letnan Pich berlayar dari Jakarta ke Surabaya. Pada hari yang sama telah terjadi angin torpedo dari kapal selam Belanda "ZWAARDFIS". Telah tenggelam 45 m dari dalam dasar laut. 29 kru kapal dari sisi kapal, mati. Dibawah perintah Kapten, 11 kru kapal terhindar dari kematian dalam marabahaya ini. Ketika mereka berada di atas permukaan laut mereka menemukan 16 sahabat yang masih hidup di geledak kapal. Pada akhirnya kapal selam Belanda naik ke atas dan mengambil semua orang dan dibawa ke kapal. Ini merupakan keberanian dari kapten van Goosen karena kapalnya akhirnya telah menjadi musuh dalam laut dan mereka tidak terdampar karena kapal sangat kecil. Keberanian van Goosen dalam bahaya telah mengirim 23 yang telah selamat ke Java dengan perahu lokal. Sebelum mereka bisa bertemu dengan para sahabatnya di Surabaya, tentara Jepang menyangka mereka adalah "mata-mata Amerika", maka mereka ditangkap dan disiksa. Kapten Belanda van Goosen membawa Kapten Letnan Pich bersama dengan tiga perwiranya dan seorang yang terluka untuk dibawa ke kapal dan dibawa ke Australia untuk dipenjarakan. Beberapa tahun kemudian, komandan marinir Jerman di Singapura, Mayor Angkatan Laut namanya Erhardt, dan van Goosen telah berjabat tangan seperti dua orang sahabat menjadi pengganti wakil dari negaranya, pada latihan perang NATO (North Atlantic Treaty Organisation) dan dengan ini mereka bisa membuktikan tidak masuk akal terjadinya perang.
Akhirnya Perang Dunia ke-Dua
Iklim tropis di Jakarta membuat orang menjadi sakit dan mati. Pada tanggal 15 April 1945 seorang tukang kayu kapal bernama Eduard Onnen meninggal disana. Dia di kuburakan di tempat keramat Arca Domas dengan cara upacara kehormatan militer. Pada tanggal 8 Mei 1945 Jerman menyarah kalah. Oleh karena itu para tentara dari Jerman juga sudah berakhir masa perangnya. Dan pada hari yang sama orang Jepang mengusai tempat yang sama dan tinggal di kapal selam U-195 di Surabaya dan U-215 di Jakarta, karena itu Kepala Pangkalan Jerman dari Jakarta, Mayor Angkatan Laut Dr. Kandeler, menolak tawaran Jepang Admiral Maëda untuk terus perang bersama dengan Jepang atau bersekutu dengan Jepang. Beberapa dari kru telah bersembunyi dari teman wanitanya. Setelah perang usai mereka mencari pasanganya dan pada akhirnya mereka menikah (Martin Müller).
Kebanyakan tentara marinir dari Kepala Pangkalan Jakarta dan Surabaya telah pindah dengan semua yang mereka miliki yaitu makanan, senapan, kendaraan, untuk pindah dan senang di Perkebunan Teh Cikopo (Tjikopo). Dengan petolongan Albert Vehring mereka mendapat makanan. Seragamnya mereka tanggalkan. Kepala tempat penampungan itu Mayor Angkatan Laut dari U-219 Burghagen, karena telah menang dari perang Dunia ke-Satu dengan kapal selam maka dia telah menjadi seorang perwira yang paling tertua dengan usia 54 tahun.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 akhirnnya Jepang menyerah juga. Sebelum menjadi presiden pertama Sukarno telah membuat Proklamasai untuk Kemerdekaan Indonesia. Pada malam harinya pada tanggal 16 ke 17 Agustus Soekarno dengan Wakil Presiden Moh. Hatta membuat tulisan tangan untuk teks Proklamasi untuk kepastian keamanan, mereka membuatnya di tempat kediaman dari Admiral Maëda. Pada pagi harinnya teks tersebut harus di ketik disana tetapi mesin tik Jepang tidak ada huruf latinnya. Jadi mereka "meminjam" mesin tik Jerman dari tempat kantor Kepala Angkatan Laut Jerman, Mayor Angkatan Laut Dr. Kandeler. Mesin tik tersebut telah diambil dengan Jip Sekretaris Jepang Admiral Maëda, Satzuki Mishima. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Dokumen teks Proklamasi telah dibacakan oleh Soekarno. Dokumen aslinnya telah diketik oleh Sajuti Melik dengan mesin tik angkatan laut Jerman. Mesin tik tersebut sekarang berada di Musium Perumusan Naskah Proklamasi. Dari sini ceritannya juga telah ditemukan banyak keganjilan.
Orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia akhirnya menjadi gerilyawan. Karena hal tersebut orang Jerman kemudian membuat tanda atribut mereka yang telah diambil dari seragamnya untuk dijadikan lambang dengan menggunakan lambang Elang Negaranya dilengan mereka. Ketika orang Indonesia mengenali orang Jerman mereka menjadikan hubungan tersebut menjadi persaudaraan.
Pada awal bulan September 1945 sebuah Resimen Ghurka-Inggris dibawah komandan perwira orang Skotlandia datang ke Jawa. Tentara ini sangat kaget menemukan tentara Jerman di Cikopo. Komandan resimen bertanya kepada Mayor Angkatan Laut Burghagen untuk menolong tempat penampungan di Bogor. Di tempat penampungan ini waktu itu tempat Jepang menginternir orang Belanda, kebanyakan orang tua, istri dan anak - anak, serta orang Indo. Mereka harus selamat dari penangkapan gerilyawan. Burghagen menyetujui karena situasi di perkebunan teh lama kelamaan tidak aman. Kemudian Komandan Jendral Inggris menamai orang Jerman bukan tawanan perang tetapi "Displaced Persons", karena pertemuan tersebut telah selesai pada waktu perang dunia telah berakhir.
Dengan 50 truk Jepang, orang Jerman berikut piano dan peternakannya telah di transportasi ke tempat penampungan di Bogor yang sebelumnya bernama Buitenzorg. Orang Jerman tersebut harus mengenakan seragam mereka lagi dan menggunakan senapan mesin, bren, granat tangan dan mortir. Mereka harus melindungi tempat penampungan yang berada di selatan pada perbatasan Bogor. Pada waktu yang singkat setelah perang dunia berakhir dengan luar biasa. Pada malam hari pertama datang tembakan dari keduanya seperti saling gila menembak. Untungnya dari keduanya tidak ada yang menjadi korban. Kemudian menjadi nyata, orang Indonesia menyangka mungkin bahwa orang Jerman telah tertangkap oleh Ally dan mereka berusaha untuk membebaskannya. Suatu situasi yang sangat ganjil.
Pemakaman dari pelaut-pelaut Jerman di Arca Domas
Ternyata terdapat beberapa korban. Letnan Satu Laut Willi Schlummer dan Letnan Insinyur Wilhelm Jens dimana terbunuh di Gedung Jerman di Bogor dari pejuang kemerdekaan Indonesia pada tanggal 12 Oktober 1945 karena kemungkinan mereka telah menyangka orang Belanda. Pada bulan yang sama juga Letnan Laut W. Martens terbunuh ketika dalam perjalanan dengan kereta api dari Jakarta ke Bogor. Ketiga nya dimakamkan dengan upacara kemiliteran di Arca Domas. Sebelumnya pada tanggal 29 September Kopral Satu Willi Petschow mati karena sakit di Cikopo, dan Letnan Kapten Herman Tangermann mati juga pada tanggal 23 Agustus karena kecelakaan. Pada tanggal 30 November juga Letnan Satu Laut Friedrich Steinfeld mati, ia juga seorang Komandan U-195 (Surabaya). Semua menemukan tempat peristirahatannya yang terakhir ditengah -tengah pohon suci Beringin di Arca Domas.
Kemungkinan disana ada empat atau lebih pemakaman lagi. Tetapi dasawarsa Tugu Arca Domas kemudian menjadi Tugu Makam Pahlawan, beberapa nama dari palang kayu menjadi lapuk dan tidak bisa di baca. Karena itu dua kuburan telah "Unbekannt" (tidak diketahui). Juga untuk Letnan Satu Dr.Ir. H. Haake telah meminta dikuburkan oleh keluargannya, walaupun kapal selamnya tenggelam di Selat Sunda oleh ranjau pada tanggal 30 November 1944.
Pengasingan, kemerdekaan dari sisi Indonesia dan kembalinya orang -orang yang masih hidup ke Jerman
Sementara itu banyak orang Belanda di tempat penampungan yang mengeluh, karena mereka "di jaga" oleh orang Jerman. Orang Inggris harus menyerahkan kira-kira 260 Jerman. Pada pertengahan Januari 1946 menyerahkan beberapa orang Belanda yang ikut dalam ketentaraan. Orang Belanda memenjarakan orang-orang Jerman di pulau Onrust yang terkenal karena nama yang buruk. Kepunyaan barang pribadi mereka kebanyakan juga diambil. Mereka mendapat nasib yang buruk dan ironi.
Perlakuan yang buruk agak lebih baik ketika Palang Merah dari Swiss datang pada bulan Juli 1946. Tetapi tempat penampunganya mendapat beberapa penyakit seperti amoebiasis, malaria, demam berdarah dan hepatitis karena kurang higienis dan kurang nutrisi. Disini juga ada warga sipil namanya Freitag dia tertembak karena dia mendekat pada pagar.
Dua orang dengan tanpa takut lolos dalam pelarian. Mereka berenang menyebrangi ke pulau yang lain. Salah satunya adalah pilot dari pesawat angkatam laut namanya Werner dan sahabatnya Lösche dari U-219. Dalam pelarianya mereka bergabung dengan pejuang kemerdekaan Indonesia di Jawa untuk bekerjasama melawan Belanda yang juga ingin mendirikan pemerintahan kolonial yang lama. Sahabat Werner akhirnya meninggal dunia karena ia munkin mencoba untuk merakit pelontar api. Peringatan dari pemerintahan Indonesia untuk kehormatan dari kedua orang Jerman sampai saat ini belum di buat.
Pemulangan orang Jerman dimulai pada tanggal 28 Oktober 1946. Dengan menggunakan taransportasi kapal laut mengangkut pasukan melalui Bombay dan Rotterdam pada awal Desember 1946 di Hamburg. Albert Vehring akhirnya bisa merangkul istrinya. Tetapi tentara Angkatan Laut yang menjadi tawanan perang mereka dibawah kembali ke tempat penampungan tawanan Munsterlager. Mereka menderita kedinginan karena hanya memakai pakaian tropis. Tetapi suatu hari mereka akhirnya dibebaskan.
Organisasi Perawatan Taman Makam Pahlawan Jerman tidak bisa membeli Arca Domas karena peraturan pemerintah Indonesia. Kedutaan Besar Jerman hanya mendapat hak guna untuk Arca Domas. Setiap tahun Hari Pahlawan ada perkumpulan kecil dari orang - orang Jerman datang ketempat ini. Suatu upacara kebaktian oikumene dirayakan untuk memperingati perdamaian dan memperingati korban - korban perang. Duta Besar Jerman bersama pertahanan militer meletakan karangan bunga dekat monumen dan dengan pitanya tertulis "Der Botschafter der Bundesrepublik Deutschland" (Duta Besar dari Republik Federal Jerman). Bunyi sinyal suara trompet yang dimainkan oleh Herwig Zahorka dengan lagu yang berbunyi "Ich hatt' einen Kameraden...." ( Saya mempunyai Sahabat....). Dari sinyal trompet bergema dari puncak pohon besar suci Beringin. Dengan perlahan melodi sedih itu membuat suasana menjadi terharu bersama dengan atmosfir alam tropis.
Daftar Pustaka dari: Herwig Zahorka "Arca Domas - ein deutscher Soldatenfriedhof in Indonesien"
- Eidesstattliche Erklärung von Albert Vehring vom 20.Juni 1949, Urkundenrolle Nr. 61, 1949, Notar Bernhard Grünewald, Bielefeld.
- Kpt.z.See a.D. Hermann Kandeler: Der Soldatenfriedhof ARTJA in TJIKOPO SELATAN bei BOGOR / INDONESIEN mit massstäblicher Skizze über die einzelnen Grabanlagen in einer "Anlage zur Aktennotitz" (der Deutschen Botschaft in Jakarta) vom 31.10.1966.
- Anonymus: Fotogr. Aufnahmen der Deutschen Botschaft Jakarta von Arca Domas zusammen mit zwei Spalten Text über die Geschichte des Deutschen Soldatenfriedhofs und den Aktivitäten der deutschen Kriegsmarine im 1. und 2. Weltkrieg. (Ablichtung bei der Deutschen Botschaft Jakarta, Druckquelle unbekannt).
- Geoff Bennett, 1977: ARCA DOMAS ... A Trail through Time and Space (not published). 16 Schreibmaschinenseiten.
- Hans-Joachim Krug (ehem. 1.WOff. U 219): Schreiben an die Deutsche Botschaft Jakarta ohne Datum, dort eingegangen am 11.03.1998 mit Richtigstellungen, Korrekturen und Ergänzungen zu ARCA DOMAS von Geoff Bennett.
- Holk H. Dengel: Die deutschen Marinestützpunkte Jakarta und Surabaya 1943-1945. Auswertungen der Quellen im U-Boot-Archiv Cuxhaven-Altenbruch, Literaturangaben und Augenzeugenzitate. Sechs Seiten. Ablichtung bei der Deutschen Botschaft Jakarta. Veröffentlicht? Quelle unbekannt.
- Holk H. Dengel: Deutsche U-Boote, die zwischen 1943-1945 die Stützpunkte im Südraum anliefen. 7 Seiten mit Namen der Kapitäne, der U-Boot-Typen, der gefahrenen Routen und ihre Schicksale. Abbildung des Zeichens des Monsun-U-Bootes 195 und Fotos der deutschen Marine in Jakarta 1942/45. Ohne Quellenangabe.
- Hermann Kandeler: 1943: Djakarta - deutscher Marinestützpunkt. Marineforum 6/7-1974: 206-208.
- Liste der U-Boote, die in ostasiatischen Gewässern operiert haben oder dorthin in Marsch gesetzt wurden (U-Boot-Archiv Cuxhaven-Altenbruch).
- Hans-Joachim Krug: Schreiben an die Deutsche Botschaft Jakarta vom 23.Jan.1989 mit einer Aufstellung der Boote, die Jakarta anliefen und einer Liste der Besatzungsmitglieder von U 219 mit Adressen der Angehörigen.
- Anonymus: Deutscher Soldatenfriedhof ARCA in CIKOPO. 1 Seite Text ohne Datum. Zeichen: KRZGES2.DOC
- Drittes Merkblatt über die Lage der Deutschen in Niederl.Indien, Stand Aug.1941 - nicht für die Presse - NJ4 (4000. 1.9.1941), Auswärtiges Amt, Berlin W8/Kult.E/ZV).
- Auszug aus: Emil Helfferich (1967): Behn, Meyer & Co, Arnold Otto Meyer. II. Band. H.Christians Verlag Hamburg.
- Walter Blechschmidt: Schreiben an die Deutsche Botschaft Jakarta vom 28.Febr.1984. (Beschreibung seiner Internierung als Zivildeutscher).
- Auszug aus Brief an MAH Tokio von C.G.Werner vom 9.3.1994.
- Schreiben des Japanischen Botschafters in der BRD Ryohei Murata an den Deutschen Botschafter Dr.Heinrich Seemann vom 26.Juli 1993 (u.a über U-Boot-Navigation anlässlich Subhas Chandra Boses U-Boot-Reise nach Indien 1945).
- Ida Indawati Khouw: The legacy of Maëda's residence. The Jakarta Post, Oct. 7, 2000. (Der japanische Admiral Maëda war der Marinechef in Jakarta 1942-45).
- Von: Kommando Kreuzer "Karlsruhe", B.Nr.G40, in See, 22.Jan.1936. Geheim. An den Oberbefehlshaber der Kriegsmarine, Berlin. Bericht über den Aufenthalt des Kreuzers "Karlsruhe" in Batavia vom 10.1.-16.1.1936. (22 Seiten, u.a. Gedenkfeier am Marinedenkmal in Tjikopo).
- Hans-Georg v. Friedeburg: 32 000 Seemeilen auf blauem Wasser. Erlebnisse auf der Weltreise des Kreuzers "Hamburg" 1926/27. Verl.Wilh.Köhler, Minden.
- Ernst Hoffmann: Vor 80 Jahren. Das Ostasiengeschwader bei Coronel und Falkland. Blaue Jungs 5/95:2-4.
- Umfangreicher Dokumentarbericht in Fortsetzungen von Jürgen Dennert: "Der Untergang der 'van Imhoff'". In: Welt am Sonntag 1963, Nr.34, Nr.35, Nr.36, Nr.37, Nr.38 und Nr.39/1963.
- Der Seekrieg im Indischen Ozean 1942 - 1945 - Deutsche U-Boote im Einsatz zwischen Südafrika und der Java-See. Anonymus. 193 Seiten, Fotoanhang.
Nach dem Erstdruck dem Autor bekannt gewordene intressante Schriften: - Kriegstagebuch von Ob.Mt. Peter Marl, Abschnitt: Auf der letzten Fahrt von U 195 nach Surabaya, Aufenthalt in Java, Kriegsende und Heimkehr nach Deutschland. Unveröffentlicht. Kopie bei Herwig Zahorka und der Botschaft in Jakarta.
- Franz Klump (U 219): "Es war einmal... Bericht über das Schicksal von U 219 und seiner Besatzung von 1944 bis 1946". Kopie bei der Botschaft in Jakarta und bei Herwig Zahorka.
- "Heimat deine Sterne", zusammengestellt von Johann Korn (U 195). 102 Seiten. Kopie bei Herwig Zahorka.
- Martin Müller (U 195): Bericht eines Zeitzeugen aus der Zeit von Ende 1944 bis Mitte 1947 auf Java. 11 Seiten DIN A4. Kopie bei Herwig Zahorka und der Botschaft in Jakarta.
- Umfangreiche persönliche Informationen noch lebender, ehem. Besatzungsmitglieder von U 195 (Surabaya) und U219 (Jakarta) sowie vollständige Namenslisten, demVerfasser Herwig Zahorka übermittelt.