Monday, December 26, 2016

Kritik Jendral Besar Abdul Haris Nasution Pada Demokrasi Liberal


Negara tidak lagi pouvoir neuter karena diluar terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan untuk menguasai negara. Kedaulatan dan kekuasaan terpecah di luar pemerintahan, yang sering disebut dengan istilah pressure groups. Keadaan demikian dapat membawa keliberalan di segala bidang kehidupan yg akhirnya akan menjurus ke arah anarchisme.

Perangkat demokrasi liberal yg di Eropa Barat sendiri telah mengalami kemerosotan dibawa oleh orang Barat ke Indonesia , dipompakan kepada kita melalui saluran edukasi kultur, dan dari kenyataan kenyataan ini ternyata tidak berjalan baik di Indonesia ( pengalaman demokrasi liberal berdasarkan UUDS 50 dari 1950 sd 1959, edit penulis), karena bertentangan dan tidak cocok dengan watak dan kepribadian Indonesia.

Kita telah mengalami perangkat demokrasi liberal itu dalam ketatanegaraan kita, kita telah merasakan akibat akibat yg ditimbulkan olehnya.

Demokrasi liberal di Indonesia telah menghasilkan pertentangan pertentangan politik, politikeke delinquneten, pembrontakan pembrontakan, kerusakan kerusakan kultur dan moral nasional, partai partai hanya menjadi pressure groups semata, sehingga kita sebagai bangsa kehilangan corak dan kepribadian sendiri, sebagai bangsa kita telah dipotong potong dan dipisah pisahkan oleh berbagai isme, yg masing masing berjalan atas asas dan tujuan masing masing. Akibatnya kepentingan bangsa dan kepentingan nasional, tertekan kebawah oleh kepentingan golongan.

Demokrasi liberal menimbulkan perselisihan perselisihan kelas, yang bagi bangsa Indonesia adalah hal baru.

Baru, karena dari dulu memang tidak diketahui oleh bangsa Indonesia karena memang tidak perlu ada. Yang ada hanya satu kelas, yaitu Rakyat Indonesia yg berjuang mencapai tujuan revolusi dipimpin oleh Ideologi Pancasila, tujuan revolusi sebagaimana tersebut dalam Pembukaan UUD 45..."(Buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5 hal 200 sd 201).

Pikiran Jendral AH Nasution sangat dipengaruhi oleh Prof Mr Djokosutono dimana dua muridnya Mr. Basyaruddin Nasution dan Kol Sutjipto SH banyak memberi masukan ke beliau.

Dalam konteks perlawanan beliau terhadap demokrasi liberal adakah tawaran solusi Jendral Nasution ?

Dalam konteks ketatanegaraan menurut UUD45 ada tawaran Jendral Nasution khususnya peranan TNI yg dipidatokan di Universitas Andalas. Namun kita akan tulis lain kali.

Tentang konsepnya yg tdk jalan sepenuhnya baik oleh faktor Presiden Soekarno dan mungkin juga oleh Jendral Soeharto, Nasution merenungkan belakangan :

"Jika saya renungkan kembali masa itu, saya berkesimpulan bahwa saya mempunyai kealpaan, ialah kurang memelihara hubungan pribadi dengan Bung Karno sebagai " bapak" yang suka diperlakukan demikian. Sehingga timbul jurang antara kami dan akhirnya saya tak berkesempatan merampungkan misi tersebut. Benarlah kata Jendral Gatot Soebroto bahwa saya " terlalu zakelijk".

Saya kurang berusaha membuat Bung Karno sebagai "pusat" segala sesuatu. Sebaliknya Jendral Yani bersikap menjadikan Bung Karno sebagai " bapak" bagi TNI.

Gaya hidup saya berbeda dari gaya hidup Bung Karno sehari hari walaupun sekitar 1959 saya sehari hari bersama Bung Karno, tapi rupanya beliau tetap memandang saya tetap " berdiri sendiri" .

Memang sejak semula saya berniat untuk meneruskan sikap " otonom" dari Pak Dirman dalam kehidupan bernegara dan sikap sederhana TNI dalam kehidupan pribadi sehari hari. ( hal 237).

MHT 24 Des 2016.

No comments:

Post a Comment