USA dan China adalah biang kerok ketegangan dan militerisasi di Laut China Selatan. Penetrasi militer kedua negara super power merupakan ancaman nyata.
Maret 2016, USS Stennis bersama Kapal Perang USS Mobile Bay, destroyer USS Stockdale dan USS Chung Hoon melewati Selat Luzon. USS Antietam, yang bertugas di Yokosuka Naval Base, diperintahkan bergabung. Begitu juga dengan USS Blue Ridge yang berada di Manila.
Perundingan trilateral antara US Navy, Jap Maritime Self Defense dan Philippine Navy merupakan reaksi dari meningkatnya aktifitas militer China di Woody Island dan Paracel Island. November 2015, China menempatkan sejumlah J-11 fighter jets di Pulau Woody.
USA dan Australia sepakat menempatkan pesawat strategic bomber B-52, Supersonic bomber B-1 dan Omega Tanker di Pangkalan Udara Darwin dan Tindal.
Sejak 2011, USA sudah mengalokasikan 60% kekuatan angkatan lautnya di perairan Pasifik. Menghadapi manuver agresif China di Laut Selatan, Amerika mengembangkan new strategy dengan key words: Forward, Engaged and Ready.
New Strategy itu menciptakan taktikal plans. USA berencana menambah armada tempur di Pasifik menjadi 140 kapal perang. Termasuk menempatkan 4 unit balistic destroyer di Spanyol, 40 unit di Middle East dan attack submarine di Guam.
USA juga menggunakan proxy. Selain merangkul enam sekutu primordial (Australia, NZ, Jepang, Korea Selatan, Philipina dan Thailand), Amerika membuka kerjasama dengan delapan patner baru: India, Brunei, Bangladesh, Macronesia, Singapura, Vietnam, Malaysia dan Indonesia.
Ketiga manuver di atas bertujuan mengunci China di Laut China Selatan. Sebagai bagian dari China Containment Policy. Mobilisasi militer Amerika juga bermotif mengamankan jalur suplai minyak. Di tahun 2016, kebutuhan minyak China melampaui Amerika yaitu 7,4 juta barrel per hari. Sedangkan Amerika 7,2 juta.
Meningkatnya kebutuhan minyak, memaksa China menguasai Laut China Selatan sebagai strategic agenda.
Menghadapi reaksi Amerika, China menerapkan strategi "String of Pearl" untuk melindungi wilayah perairan Yellow Sea, East and South China Seas dan membuat pulau artifisial. Strategi ini menjangkau 600 mil laut.
Memahami defisit kemampuan militer lintas negara, Beijing melancarkan strategi ekonomi, budaya dan politik. Srilanka dirangkul dengan bantuan ekonomi dan humanitarian projects. Begitu juga dengan Pakistan yang merupakan rival antagonis India. Rusia berperan sebagai mediator hubungan dengan India. Belakangan, Presiden Duarte menyebut Obama sebagai "son of a whore". Philipina berhasil ditarik.
Bagi Indonesia, militerisasi dan kenaikan eskalasi ketegangan di sekitar Laut China Selatan merupakan ancaman baru. Agresifitas China dan penempatan strategic bomber di Utara Australia mengurung Indonesia. Amerika memperoleh keuntungan ganda. Selain mengontrol manuver China, kekuatan militer di Australia juga bisa menekan Indonesia.
Ahok menjadi beban tambahan bagi relasi tripartit Indonesia, Amerika dan China. Melemahnya dominasi Amerika dan menguatnya kemampuan China harus direspon dengan bijak. Ahok menjadi duri (yang tidak perlu) dalam kerangka ini.
Amerika bisa memandang Ahok sebagai simbol Jakarta melobi Beijing dengan pendekatan primordial. Sedangkan Beijing bisa menilai Ahok sebagai sandungan yang sengaja digunakan dalam rangka menjegal agenda China memenangkan hati dan pikiran rakyat Indonesia. Itu terbukti dari kegaduhan yang diciptakan Ahok. Ketiga seri Aksi Besar Umat Islam merupakan sinyal buruk bagi Beijing. Ahok bisa memicu sentimen anti China, sesuatu yang tidak diinginkan oleh Beijing.
by Zeng Wei Jian
No comments:
Post a Comment