Aku curiga pada diriku sendiri. Setiap perayaan malam tahun baru, aku merasa ngeri melihat kegembiraan manusia yang berpesta pora merayakan kematiannya sendiri.
Setiap detik
Setiap menit
Setiap jam
Setiap hari
Setiap minggu
Setiap bulan
Setiap tahun
Sang waktu dengan pisau mengkilat mengiris usia seiris demi seiris. Memasukkannya ke dalam kantong kematian, lalu diberi label nama.
Malam ini tepat Pk. 00 sang waktu mengambil lagi seiris nyawa, kembali memasukkanya ke dalam kantong kematian, membuangnya ke sungai maut. Prosesi itu diringi illustrasi Kembang api , suara petasan, suara terompet, sorak sorai, aroma kambing guling. Lengkap sudah kengerianku.
Tapi malam ini aku berusaha mengumpulkan sisa sisa keberanianku yang berserakan di sekumpulan nasehat teman temanku. Aku harus mencoba berdiri di tengah keramaian pesta pergantian tahun ini. Kalau tidak mencoba, dari mana kamu tahu kalau kamu punya keberanian ? Begitu nasehat temanku.Ya,tidak ada salahnya mencoba. Ayo !
Aaah..tidak semudah itu. Di tengah keramaian ini aku seperti terlempar ke dunia demit. Mulut-mulut menyeringai, di kepala meraka ada tanduk besar. Cahaya warna warni di langit seperti meteor dari kerak neraka.Terompet kematian memekakkan telinga.
Tidak !
Aku harus pulang !
Terengah-engah aku sampai di ujung gang rumahku. Seseorang menyapa,” Dari mana,Bal ? “ aku yakin dia tidak bertanya, sekedar basa-basi. “nggak, jalan jalan aja,” jawabku basi basi pula.
Jawabanku seperti menampar mukaku. Jadi aku sedang berjalan ? Sudah berapa langkah aku berjalan ? taruh lah seratus langkah. Pada hari-hari kemarin ? Kemarinnya lagi ? Aku tidak pernah menghitung langkahku. Aku merasa kasihan dengan kedua kakiku, entah sudah berapa langkah, tanpa kenal lelah dia membawaku kemana saja aku mau.
Aku kembali ke kamarku. Aku buka gordyn. Dari balik kaca jendela, nampak langit pekat, sekali sekali dihiasi sinar warna warni dari kembang api. Aku harus mencobanya dari sini. Melihat pesta kembang api dari kejauhan, dari tempat yang paling nyaman. Kamarku.
Aku buka mata perlahan. Eh, sudah berapa lama aku tertidur di bangku dekat jendela kamarku ?Hari sudah pagi.Tetes air hujan mengalir di kaca jendela kamar. Berembun. Seperti metafora film nasional yg selalu kehabisan akal menciptakan metafora baru.
Apa bedanya hujan hari ini dengan hari kemarin ? Kalau hari ini cerah ,apa bedanya matahari sekarang dengan matahari kemarin? Kenapa manusia manusia itu semalam begitu tegang sambil menghitung mundur seperti menunggu bom waktu? Seperti hari esok air hujan akan berubah warna ? Seperti matahari akan berubah arah ?
Dari balik jendela berembun, agak samar aku melihat anak-anak bermain di tengah hujan. Setiap hujan juga selalu begitu. Kalau hari cerah, ada wanita yang menjemur pakaian di sana. Selalu begitu.
Manusia manusia yang lelah seusai pesta, pasti juga tidak merasakan apa apa. Mereka cuma mendramatisir waktu, agar ekonomi tetap berputar pada setiap pergantian tahun.
Mereka juga mungkin tidak tahu, seiris umur mereka sudah hanyut di kali maut. Kalau mereka tahu, tidak perlu ucapan klise penuh basa basi,”semoga tahun ini lebih baik dari tahun kemarin.”
Kalau mereka tahu bahwa mereka harus berpacu dengan waktu, mungkin mereka akan berusaha lebih baik setiap hari setiap jam setiap detik.Tidak harus menunggu sampai ujung tahun. Kalau mereka tahu.
1 Januari 2012.
Balya Nur
No comments:
Post a Comment